The Kite #1



"Hai.."
"Hai, juga..." sedikit tersenyum aku menyapanya.

Ini senja hari.

"Lama tak jumpa, ya?" kali ini ia yang tersenyum. Aku mengangguk.
"Kamu tau aku disini?" tanyaku padanya. Kakinya melangkah, menempatkan dirinya duduk di atas batu, di sebelahku.
"Selalu disini, kan?" jawabnya. Aku tersenyum dan mengembalikan mataku ke arah buku yang sedang kubaca tadi.

Pukul 5 sore, matahari belum terlalu tenggelam.

Tangannya terangkat, telunjuknya mengacung lurus ke depan. Menunjuk sesuatu.

"Dia sudah besar, ya..." tersenyum lagi. Kurendahkan bukuku, mencoba mencari apa yang ditunjuknya. Menemukan, aku terangguk dan kembali ke buku.
"Kelas berapa?" tanyanya lagi.
"Dua SD" jawabku, pendek saja.

Bocah kecil itu lincah bermain bersama teman-temannya. Futsal, permainan favoritnya.
Tak lama, ia berlari ke arahku kemudian menarik tanganku. Sebentar matanya menengok kepada sosok di sebelahku. Mungkin ia tadi melihat kami berbincang.

"Beli donat... tadi janjinya beli donat.." Ah,hampir lupa aku! Aku memang mengatakan hal itu tadi sebelum kami berangkat ke taman ini.
Matanya kembali memandang sosok di sebelahku ini. Seperti sedikit penasaran siapa sosok ini.

"Halo, sayang..." sapanya.
"Apa kabar?" pertanyaan biasa bagi yang sudah lama tak jumpa. Ia mengulurkan tangannya ke bocah ini tapi bocah ini malah memandangku.

"Siapa?" tanyanya padaku. Kubalas senyum, mungkin bocah ini lupa. Tak ingin berlama-lama di sana, aku berpamit dengannya.

*****
Sudah hampir lima tahun kami tidak berjumpa. Alasan pendidikan saja.
Berteman dengannya memang menyenangkan. Ya, kami bersahabat, itu saja. Dan senja itu, entah darimana datangnya tiba-tiba ia muncul lagi, entah sengaja atau tidak ia datang ke taman itu, menyapaku.

Sangat setia. Benar-benar setia. Salah satu buktinya adalah ketika bocah ini lahir. Malam-malam ia datang ke rumah sakit, membawakan baju-baju yang harus dibawa ke sana.
Pukul 3 pagi, ia ke musholla, mungkin tahajjud pikirku. Sekembalinya ia bercerita, ia berdoa untuk kelancaran persalinan nanti dan juga untuk bocah ini. Aku terharu mendengarnya.
Dan sampai bayi itu lahir, ia masih setia menunggu di rumah sakit. Bolak-balik sekolah-rumah sakit. Kami masih SMA waktu itu.

Ba'da shubuh, tangisan bayi itu memecah sunyi semesta. Begitu merdu mendengarnya. Aku menangis memandang tubuh mungil itu. Laki-laki. Akhirnya kamu tiba di dunia ini....
Dan ia juga memandangi bayi itu.

"Tampan.. seperti ayahnya.." katanya sambil tersenyum. Aku tertawa kecil.

****
Hari Minggu pagi.

Kembali kami berdua bermain di taman dekat rumah.

"Nanti Bunda mau kemana?" tanya bocah itu.
"Mmm... mungkin belanja ke pasar." jawabku.
"Yaudah, nggak usah lama-lama, ya di sini.." pintanya.
"Kenapa? Biasanya kamu betah di sini..."
"Aku mau ikut Bunda ke pasar, hehe.." segera ia berlari ke tengah taman menyusul kawan-kawannya. Aku geli melihatnya, dasar anak-anak.

Aku duduk di tempat biasa, melihat sekeliling, anak-anak berlarian, lucu sekali.
Tiba-tiba seperti ada yang menyentuh pundakku, aku berbalik. Ah, dia lagi. Tapi ia tidak sendirian. Ada sebuah layang-layang menggantung di tangannya.
Tersenyum (lagi).

"Boleh ketemu dia?" tanyanya. Aku mengangguk. Ia langsung berlari ke arah bocah itu.

"Bondan!!!" serunya, memanggil bocah itu, Bondan. Yang dipanggil menoleh dan tanpa aba-aba ia berlari kecil menuju dirinya.
"Layang-layang!!!" Ya, Bondan sangat suka layang-layang. Orang itu memberikan oleh-olehnya tadi pada Bondan, tentu Bondan sangat senang. tapi kulihat Bondan menggeleng entah apa artinya. Lalu Ia menggandeng tangan Bondan, menyuruh Bondan memegang layang-layangnya sementara ia menarik talinya. Oh, mungkin ia mengajari Bondan bermain layang-layang. Bondan tidak tahu caranya.

Sekitar lima belas menit mereka bermain berdua. Sudah saatnya pulang.
Kupanggil Bondan dan mengajaknya pulang. Mereka menghampiriku.

"Kalo Bondan mau main lagi, nanti sore kita ketemu di sini, ya.. Anginnya bagus kalau sore, jadi layangannya bisa terbang tinggi.."katanya dengan memperagakan tangannya.
"Oke! Pulang dulu, yaa..." jawab Bondan.

Kami kembali pulang.

****
Ada satu hal yang membuat kami akhirnya berhenti berkomunikasi. Sesuatu yang sulit termaafkan olehku dan orangtuaku juga.

Tahun ke dua kelahiran Bondan, saat yang lucu bagi kami semua, termasuk dirinya.
Kami rayakan hari besar itu. Begitu sayangnya ia pada Bondan sampai menyempatkan diri datang ke rumah, jauh-jauh dari kota kuliahnya, Bandung, sementara rumah kami berada di Jogja demi ikut merayakan ulang tahun Bondan.

Semua melihatnya, bagaimana Bondan dengan lincah berlari-lari sambil membawa es krimnya yang tiba-tiba tumpah di atas celana dirinya. Dan Bondan kecil menepuk-nepuk tumpukan es krim itu. Ia marah, terlihat dari cara pandangnya memandang tangan Bondan yang lincah meratakan tumpahan es di celananya. Tak ada yang menyangka bahwa akhirnya ia memukul tangan Bondan, entah mungkin begitu keras karena setelah itu Bondan menangis sangat keras.

Mendengar tangisan itu aku segera menggendong Bondan, menenangkannya. Ia keluar.
Bunda mengambil alih gendonganku lalu aku mengejarnya. Di luar, kutemukan ia berdiri. Tak segan-segan aku menamparnya, sebagai pembalasan pemukulannya terhadap Bondan.
Dan itulah akhir pertemuan kami.

Komunikasi benar-benar terputus.

Dan senja itu ia datang.

****
Hari Minggu sore.

Bondan menarik-narik tanganku mengajak ke taman. Layang-layang, katanya.
Kami segera berangkat kesana. Ternyata ia sudah ada di sana dengan layang-layang yang baru, yang lebih berwarna, yang lebih berbentuk.

"layang-layaaaaaannggg..." seru Bondan begitu melihat layang-layang burung itu dan segera menghampirinya.
Ia tersenyum dan berdiri. Sebentar mengusap ambut Bondan kemudian mengajaknya ke tengah taman. Ia memandangku, aku tersenyum.

Bondan sangat antusias memegang layang-layang itu. Mereka belum berhasil menerbangkannya karena anginnya tidak terlalu kencang. Merasa bosan, aku menghampiri mereka, mencoba melihat lebih dekat saja.

"Ayo, Bondan. Jangan capek! Kita belum nerbangin layang-layangnya, nih..." katanya memberi semangat pada Bondan yang tampak mulai kelelahan. Bondan mencoba bersemangat lagi.
Satu kali
Dua kali
Tiga kali
Sampai akhirnya pada usaha ke tujuh layang-layang gagah itu terbang.

"Horeee!!! Hore!!! Layang-layangnya terbaaaaaannngg!!" seru Bondan, senang sekali. Sementara itu Ia tersenyum puas. Ia mengulur lagi benangnya sampai layang-layang itu terbang lebih tinggi. Kepala Bondan mendongak ke atas, memandang burung merah itu terbang.

"Bondan mau pegang benangnya?" tawarnya. Bondan menggeleng, namun sepertinya ia tahu kalau Bondan sangat ingin mengendalikan layang-layang itu. Ia meletakkan penggulung benang ke tangan Bondan dan membantunya mengendalikan layang-layang. Bondan sangat senang.

****
"Bondan harus seperti layang-layang, bisa terbang tinggi."katanya setelah itu. Kami duduk bertiga, berjejer menghadap senja.
"Kan Bondan nggak punya sayap.." protes Bondan, lucu.

"Haha.. bukan. Bondan harus punya cita-cita yang tinggi dan nggak boleh nyerah kalau gagal. Coba dulu kita bayangin, kalau layang-layangnya nyangkut berarti udah bolong, kan? Nah, berarti bolongnya itu nggak bisa bikin layangannya terbang, jadi kita harus perbaiki dulu layangannya biar bisa terbang lagi. Walaupun kertasnya bolong, tapi kan kerangka layangannya nggak rusak, jadi kita bisa bikin layangan baru lagi tanpa harus buat kerangkanya dulu.

Kalau Bondan dapet nilai jelek, jangan patah semangat. Bondan harus belajar lagi supaya nilainya jadi lebih bagus, jadi layangan yang utuh." ia memberikan semangat kepada Bondan, seperti biasa, seperti dulu. Ya, ia memang motivator yang hebat.

"Biar Bondan bisa pinter kayak Kak Alya..."tambahnya. Ia memandangku sambil tersenyum.
Ku tatap Bondan, tampaknya sedikit kebingungan dengan kalimat terakhir-nya.

"Emang Kak Alya pinter?" Oh, Tuhan... Dasar Bondan, membuatku ingin tertawa saja. Ia tersenyum lagi sambil menolehkan kepalanya ke arahku.

"Hmm... Bondan, kakak pulang dulu, ya. Kapan-kapan kita ketemu trus main layang-layang lagi!" Sudah selesaikah?

"Kak, ajarin bikin layangan juga, yah." pinta Bondan, Ia mengangguk seraya berdiri. Aku yang sedari tadi hanya menunduk-menatap ke depan-menunduk lagi dan tidak pernah menatapnya, tiba-tiba mampu menggerakkan kepalaku ke atas dan mencoba menatapnya. Tahukah? Ada sedikit rasa sedih dan kecewa yang kurasakan saat ini.

"Sampai jumpa..." dan ia berlalu...

Aku tak mengucapkan apapun, rasanya menyesal.
Aku tak sempat atau tak ingin? rasanya menyesal.
Aku hanya mampu menatap kepergiannya. Rasanya menyesal. Betapa menyedihkan.

"Kak Alya, Kak Gandhi mau kemana?" pertanyaan Bondan menyadarkanku dari renungan singkat ini. Ya, Ia sudah menghilang ternyata.
Tak mampu kujawab, aku hanya menggeleng. Aku tak tahu apakah besok ia akan kembali lagi kesini? Atau tidak? Aku berharap besar ia datang. Besok.

besok.

.............................

originalwork-UpikoBudi

Comments

  1. not bad, hehe. Aku sekarang tau tokohnya itu si Alya jadi kakaknya, bukan ibunya. Wkwkwk.. cuman kurang pemahaman aja kalo di baca sekilas,pik. Overall, good =D

    ReplyDelete

Post a Comment

Yuk, share your thought!

Popular posts from this blog

Guruku "tersayang" wkwkwk...

[Apresiasi Buku] Korean Cool: Di Balik Drama Reply 1988 sampai SMTown Paris 2012

Gadis Rantau #2: Antara Tempat Tidur dan Kamar Mandi