Jarak
Pukul 9.00 pagi. Dua puluh lima menit lagi dia sudah harus berada di dalam kereta, tapi mereka belum jua datang. Tak tahulah, apakah akan seperti di film-film, ketika kakinya satu hendak melangkah ke dalam gerbong dua, lalu tiba-tiba suara-suara itu menghampirinya, menyerukan namanya lantas semua pelukan merengkuh tubuhnya. Ah, terlalu mendramatisir. Segelas kopi panas menemaninya di ruang tunggu sambil membaca buku. Resah. Bagaimana kalau mereka tidak datang? Sebenarnya tidak apa-apa. Tapi sebenarnya ia butuh pelukan terakhir sebelum meninggalkan kota ini. Merantau sungguh membuatnya mengerti tentang “pulang”. Bahwa rumah itu ada, sahabat selalu setia, dan keluarga adalah tempat kembali. Dan cinta... ia mulai mengerti arti cinta, tidak harus dinyatakan dengan kata-kata, tapi dengan pulang. Kemarin bersama para sahabat, ia bernostalgia, berbagi cerita. Ada getar-getar rindu di sana, ada bayang-bayang cinta yang malu-malu menampakkan diri. “Kamu ka