Gadis Rantau #11: Pamit



Ini bukan judul lagunya Bang Tulus.
Ini aku, mau pamitan sama Jatinangor.

Hehehe...

Wah, sudah waktunya ya. Tiba saatnya meninggalkan dan mengakhiri semua cerita tentang Jatinangor, kuliah, dan Bandung. Ribuan kesan sudah tertanam, semoga tidak hanya menjadi memori yang bisa aja hilang suatu saat. Ribuan pelajaran dari sini sudah berhasil dipetik, semoga berguna buat masa depan sampai mati nanti.

Mau nulis apa ya? Ceritanya semua udah ditulis. Tapi belum semua hal-hal yang ada dalam bucket list terlaksana. Hmm, iya masih banyak hal yang ingin dilakukan di Bandung dan Jatinangor. Tapi apa dikata, sudah waktunya pulang.

Iya, harus pulang soalnya belum bikin baju buat wisuda.

***

Gunung Geulis, Senin (13/6) penampakan dari balkon Villa Merah


Di tulisan #1 beberapa bulan lalu aku membahas tentang sebuah keputusan besar yang sudah aku buat sepanjang hayat hidupku sampai saat ini. Keputusan besar itu adalah meninggalkan rumah ke tempat yang jauh untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi dan lebih banyak. Di tulisan itu aku bilang kalau ternyata keputusan besar ini baru aku sadari risikonya ketika aku sudah memutuskannya, bukan sebelumnya. Risiko besarnya adalah tinggal jauh dari orang tua, tinggal sendirian, nggak punya teman, dan tentunya akan kesepian.

Tapi kemudian kegelisahan atas risiko itu menghilang pelan-pelan setelah aku ketemu sama teman-teman baru. Mereka sama-sama perantau dan kebanyakan bukan warga Bandung maupun Jatinangor. Benar juga katanya Imam Syafii, nggak perlu gelisah akan kesepian dan sendirian kalau kita merantau karena kita akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan.

"Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang. Merantaulah, kau akan dapatkan penggantu dari kerabat dan kawan. Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang." -Imam Syafi'i #1
Ada semacam shock culture atau gegar budaya ketika aku tinggal di dua tempat ini. Selama 18 tahun aku hidup di tengah masyarakat Jawa dengan budaya Jawa yang amat kental, bahasa, tingkah laku, sampai makanan Jawa pun sudah melekat dalam diriku. Lalu tiba-tiba aku harus pergi ke barat, ke tanah Sunda yang meski budayanya masih mirip-mirip sama Jawa, tapi tetap aja ada yang beda.

Yang pertama kali bikin aku terkejut adalah masalah makanannya. Terbiasa makan makanan yang cenderung manis dan gurih, aku di sini harus berjuang melawan sakit diare beberapa kali karena nggak cocok sama makanan Sunda yang cenderung asin dan pedes. Lidah ini rasanya sulit untuk menerima rasa masakan itu. Tapi, aku yang awalnya nggak terlalu suka makanan pedas jadi belajar untuk menyukainya dan akhirnya sekarang keranjingan banget sama makanan pedas.

Yang ke dua adalah bahasa. Sebelumnya nggak ngerti sama sekali dengan bahasa Sunda. Taunya cuma 'naon' atau 'kumaha damang?' dan nggak paham sama penggunaan kata 'sok' yang artinya ternyata adalah 'mangga', bukan 'belagu'. Pindah ke sini pun rasanya kayak pindah ke luar negeri karena bahasanya nggak kita mengerti. Tapi, aku jadi semakin sadar bahwa belajar bahasa itu harus banget dipraktikkan, nggak cuma didengarkan. Dari sinilah aku belajar sedikit-sedikit bahasa Sunda. Menyimak obrolan bahasa Sunda teman-temanku dan coba sok-sokan ngomong pake bahasa Sunda. Ah, bagiku ini pelajaran yang sungguh berharga :)

"Jika matahari di orbitnya tak bergerak dan terus diam, tentu manusia akan bosan dan enggan untuk memandang." -Imam Syafi'i #4

Hal baik lainnya dari merantau adalah kita akan menjadi diri kita sendiri. Keluar dari zona nyaman memang susah dan nggak enak. Kita yang merasa diri ini udah sempurna dan bahagia, ternyata perlu ada self-upgrade karena kita nggak mungkin menjadi diri yang seperti itu-itu aja. Kita harus berbenah untuk menjadi lebih baik. Tapi kita nggak akan pernah merasakan sendiri apakah diri ini sudah lebih baik daripada diri yang sebelumnya atau belum. Cuma orang lain yang bisa melihatnya, tapi kita perlu mengetahuinya. Itulah gunanya teman dan kerabat baru di perantauan. Merekalah yang menjadi alat untuk meng-upgrade diri kita, karena mereka yang secara fisik lebih dekat dengan kita.

"Aku melihat air menjadi kotor karena diam tertahan. Jika mengalir ia akan jernih. Jika diam ia akan keruh menggenang." -Imam Syafi'i #2
Dan akhirnya semua pengalaman dan cerita itu sudah sampai pada ujungnya. Seharusnya cerita terakhir itu adalah cerita yang mengharu biru, tapi apa daya, hari terakhirku kemarin Senin di Jatinangor harus melalui kisah yang miris. Aku mengakhirinya dengan hujan-hujan basah kuyup ketika maghrib tiba. Rencanaku untuk sholat tarawih lagi di Masjid Raya Unpad bareng Mbahell dan Bundo sirna karena hujan deras yang turun nggak kira-kira. Ceritanya begini, sore itu menjelang berbuka, aku sama Mbahelll pergi ke luar untuk cari makanan buka sekalian ambil duit di Alfamart Bungamas. Jam 17.00 waktu itu langit Jatinangor sebenarnya udah menampakkan akan turun hujan. Tapi kami sok tau. Paling hujannya masih nanti agak malam sedikit. Jadi, kami keluar cuma bawa duit secukupnya, nggak bawa mukena dan nggak bawa hape.

Sudah beli makan buka, kami ke Bungamas. Disitu duduk sembari menanti adzan Maghrib. Tak disangka, air dari langit perlahan turun rintik dan lama-lama jadi hujan gede. Kami berdua cuman bisa menatap jalanan yang basah diguyur hujan. Pertanyaannya: dimana kami harus sholat? Gimana caranya sampai ke masjid terdekat tapi enggak basah soalnya kami nggak bawa payung? Bodohnya lagi aku dalam keadaan nggak pakai jam tangan waktu itu, jadi nggak tau kami udah duduk berapa lama di Bungamas. Hujan semakin deras, sementara kami belum sholat maghrib. Akhirnya, mau nggak mau kami memaksa diri menembus guyuran air itu. Lari ke Ciseke besar menuju ke masjid terdekat. Ah, sampai masjid pun kami sudah basah kuyup. Ya, sudah kami tetap sholat Maghrib sambil menggigil.

Untungnya, depan gang masjid itu ada kosan Andin. Aku yang berbusana baju kemeja dan celana jeans yang basahnya udah sampe sepanjang kaki harus kuat-kuat menahan dingin. Demi kondisi tubuh yang lebih baik, kami yang bertaruh Andin ada di kosan pun mendatangi kamarnya. Alhamdulillah anaknya ada di kosan, jadi kami numpang berteduh dan mengeringkan baju. Acara malam itu yang harusnya sholat tarawih di masjid kampus berubah jadi acara ngeringin baju. Hmm... Arifina....

Dari keseluruhan cerita merantau ini, aku sudah rangkum dari perasaan sedih yang akhirnya berbuah menjadi bahagia.  Jatinangor jadi saksi ketika aku marah, senang, sedih, sakit, menangis, luka, dan tertawa. Ada yang kurang? Ah, iya.. kisah cinta, ya? Kemarin udah ditulis, aku jatuh cinta sama Bandung dan KANG EMIL. Selebihnya nggak ada. Alhamdulillah :)

Setelah semua kejadian dan pelajaran yang aku dapat dari sini, aku ingin berterima kasih kepada semua pihak. Ini kayak mindahin prakata skripsi ke sini, tapi versi lebih lengkapnya. Maaf kalo ada yang kelewat..
Terima kasih buat bapak dan ibu yang udah mengizinkan aku sekolah di sini, atas pilihanku sendiri. Aku jadi belajar bagaimana harus bertanggung jawab terhadap pilihan sendiri :) Terima kasih atas motivasinya selama ini baik secara lahir, batin, dan finansial, hehehe

Terima kasih buat keluarga di Bandung: Pakde, bude, Mas Riko, Mas Hendra, Mbak Nita, Mbak Gagas, Hafidz atas waktunya sehingga aku bisa menikmati hidup di Bandung ini dengan bahagia. Terimakasih sudah mengajarkan aku jadi anak gaul Bandung.

Terima kasih buat bapak ibu dosen. Dosen pembimbingku, Bu Titin dan Bu Maimon, terima kasih atas bimbingan buat skripsi saya, terima kasih selalu membesarkan hati saya ketika lagi down dan bingung. Dosen waliku, Bu Pandan, terima kasih atas motivasinya selama ini. Dosen-dosen pengajar yang lain: Pak Dadang, Pak Rana, Pak Ipit, Pak Adi, Pak Gumgum, Bu Nonon, Bu Efi, Bu Nunik, Bu Rinda, Pak Ibnu, Pak Basith, Bu Ika, terima kasih atas semua ilmu dan pengalaman yang diberikan padaku. Dan terima kasih tidak lupa kusampaikan buat Abang Sahala yang meski tugasnya setiap semester selalu bikin jenuh, tapi aku sadar kalau aku ternyata suka sekali baca buku dan tugas-tugas apresiasi buku yang Abang berikan itu jadi passion baruku. Aku suka baca dan mengulas buku sampai aku bikin blog baru khusus buat mengulas buku. Boleh loh mampir di Rumpi Buku hehehhee..

Lalu terima kasih banyak buat teman-temanku yang ada di sini. Aduh ini bagian paling malesin karena harus nyebut kalian satu-satu. Nggak usah deh, ya.. kemarin udah ditulis satu part khusus tentang kalian. Ada teman-teman Jurnalistik 2011 dan angkatan lainnya, Ilkom E, kawan dJATINANGOR, Gecibecil, Geng Kuncup, Padjajava, Turun Tangan Bandung, Senat Mahasiswa Fikom, tetua Kongres BEM Fikom, dan temen-temen mentoring. Makasih banyak atas waktunya, makasih banyak sudah membuatku jadi diri sendiri, makasih banyak atas caci makinya, makasih banyak atas tawanya, dan makasih juga atas pelajaran di luar perkuliahan yang sudah kalian berikan juga padaku. See you on top!

Segala yang dadakan selalu saja bisa terlaksana, tapi yang terencana sering gagalnya. Terlaksana juga impian kita bakar-bakaran daging rame-rame. Asyik sekali malam itu :)

Terima kasih juga tidak lupa kepada aa dan teteh kosan yang pernah aku tinggali. Terima kasih selalu menjaga kosan tetap aman dan bersih. Terima kasih sudah diizinkan tinggal di kosan itu selama ini. Maaf kalau selalu merepotkan.

***
Seperti luka, bahagia juga ada kalanya harus ditinggalkan. Membiarkannya menjadi kenangan agar kelak di masa mendatang kita senantiasa tetap mensyukuri apa yang telah terjadi selama menarik-hembuskan nafas di bumi ini.

Seperti luka, bahagia kadang juga musti disesali tapi tidak bertubi-tubi. Justru ia kerap menjadi bibit kesedihan di masa depan. Jika luka, kita bersedih pada saat itu, namun ketika bahagia, meski kesedihan itu melanda agak lebih lama tapi rasanya lebih menyakitkan ketimbang luka masa lalu.

Seperti luka, bahagia juga ada risikonya. Setidak-tidaknya adalah kamu juga menitikkan air mata jika merasanya. Apalagi untuk melepaskan dan baru mempersiapkan diri untuk melayangkannya menjadi kenangan. Sakit. Pedih. Sedih.
Tapi yah beginilah hidup. Harus terus berjalan, tidak mungkin berhenti sebelum ajalnya datang. Harus terus belajar sebelum sel-sel dalam otak mati seluruhnya. Betapa dunia ini begitu kompleks sampai kita harus terus mencari kebenaran dan pembenaran hidup. Intinya, kalau harus pergi ya pergi. Kalau harus pindah ya pindah.

Aku belum siap. Tapi aku harus siap. Pergi bukan berarti meninggalkan semuanya begitu saja, tapi juga meninggalkan sedikit jejak. Setidaknya itu akan jadi pijakan alasan ketika hendak kembali kesini. Pergi bukan berarti melupakan semuanya. Kepergian ini untuk mencari bahan cerita baru agar rindu yang harus dibayar nanti bisa diobral banyak.

Sekian ceritanya dari Jatinangor dan Bandung. Setelah ini, kemana kaki ini akan membawaku melangkah? Entah. Mungkin Surabaya. Mungkin kota lainnya. Semoga juga menyenangkan seperti di sini.

Nanti kereta jam 7.20 ke Yogyakarta. Semoga aku tidak terlambat.

Dadah,
Arifina undur diri dari Jatinangor. Wassalam.

Ini di mana? Ini di Bungamas, salah satu meeting point terfavorit buat anak Unpad. Di depan itu adalah gerbang masuk kampus. Ini pas lagi rame, lihat aja macetnya di sisi sebelah kiri itu. Sudah biasa karena itu jam pulang kantor.

"Time always flow, everything will pass by, everything will age.
that might be why youth is beautiful.
It shines, blindingly bright, for just an instant.
But, to it, you can never go back
A time when many tears were shed

The time of my youth was like that as well
In that landscape, whe we won't be able to gather like that again, 
I regret being unable to say my final farewell.
To the things that are already gone 
To a time that has already passed, I want to say a belated farewell
Goodbye, my youth
Goodbye, Ssangmundong Jatinangor"
-Ending narration, Reply 1988-




.arifina007.

Comments

Popular posts from this blog

Guruku "tersayang" wkwkwk...

[Apresiasi Buku] Korean Cool: Di Balik Drama Reply 1988 sampai SMTown Paris 2012

Gadis Rantau #2: Antara Tempat Tidur dan Kamar Mandi