Gadis Rantau #10: Si Pencuri Hati itu Namanya Bandung

Kalau ditanya, apa yang pertama kali terlintas dalam pikiran ketika ditanya soal Bandung?

Aku jawab: KANG EMIL!

WELCOME TO BANDUNG! Taken from exit tol Pasteur.
Tujuh tahun lalu, jauh sebelum aku diterima di Unpad, aku sudah terbilang sering berkunjung ke Bandung karena kakakku kuliah di ITB dan pakde, kakak sulungnya bapak juga tinggal di Bandung. Ya, kami sekeluarga selalu punya alasan untuk liburan ke Bandung. Waktu SMP pun aku pernah ke Kota Kembang yang adem ini dan sejujurnya aku langsung jatuh cinta sama kota lautan api ini. Jauh sebelum Kang Emil jadi walikota Bandung. Hm.

Tapi setelah dari tujuh tahun itu, dua tahun kemudian aku datang lagi ke sini untuk mengurus seleksi masuk perguruan tinggi. Waktu itu rasa cintanya masih biasa aja. Tapi kemudian aku tinggal di daerah sini selama hampir lima tahun, rasanya Bandung itu punya gravitasi sendiri sehingga aku jadi kesulitan menarik diri dari kota ini.

Lima tahun yang lalu Bandung masih amburadul, macet, kumuh, gak asik pokoknya. Tidak terlalu menyenangkan dulu itu tinggal di sini, lalu entah kenapa tiba-tiba sejak akhir tahun 2012 aku merasa Bandung sadar diri. Kota yang penuh perjuangan ini akhirnya sadar kalau dirinya harus bersolek sedemikian rupa lantaran semakin banyak manusia-manusia Indonesia maupun luar negeri yang berkunjung ke sini untuk sekedar wisata dan belanja. Bandung punya banyak potensi untuk menjadi kota yang lebih baik. Bandung punya ratusan ruang terbuka yang dulunya suka ditanami beton, akhirnya sekarang ruang terbuka itu jadi taman-taman yang indah dan nyaman buat nongkrong.

trotoar di sisi Jalan Merdeka depan Balaikota. Uuuuuu lovely banget buat jalan kaki <3
I can't found a place like this in Yogya :(
Penampakan Taman Cikapundung yang asyik betul buat menyendiri dan baca buku asalkan lagi nggak hujan


Bandung itu lovely banget.
Kotanya adem, masyarakatnya juga ramah dan baik hati. Lupakanlah dulu keegoisan para supir angkot yang suka semena-mena kalau pake jalan raya. Lupakanlah kemacetan-kemacetan yang kerap terjadi di beberapa titik jalan di kota ini. Lupakanlah para pengendara motor yang suka sok jago ketika lampu lalu lintas masih merah mereka udah jalan duluan ke depan atau sok bego berhenti di depan zebra cross atau bahkan di zebra cross ketika lampu merah di areanya menyala.

Meskipun harga-harga berbagai macam barang di sini mungkin cenderung lebih mahal dibandingkan Jogja dan tingkat hedonismenya lumayan tinggi, tapi di Bandung ini masih memungkinkan buat bergaya hidup merakyat. Ya, soalnya di Bandung ini ada banyak sekali perguruan tinggi dan sekolah, jadi bisa dikatakan juga kalau Bandung adalah kota pelajar. Hm.

Nggak perlu jauh-jauh dulu deh, kalau ngomongin pelajar pasti hal pertama yang dibincangkan adalah makanan. Bandung ini disebut-sebut sebagai surga kuliner, beragam makanan-makanan unik ada disini dan belakangan sudah berekspansi ke beberapa daerah. Sebut saja kue cubit. Sebetulnya makanan ini semacam kue pukis atau pancake yang dipanggang pakai cetakan yang bentuknya lucu-lucu. Seiring merebaknya rainbow cake dan red velvet, panganan ini pun sama para produsen diinovasi jadi kue cubit ala red velvet, kue cubit greentea, dan sebagainya. Kue cubit ini juga salah satu kue yang udah disebar ke berbagai kota di Indonesia, contohnya Jogja, Jakarta, dan Solo.

Itu dari segi makanan.
Akhir-akhir ini orang kalau ditanya soal Bandung, kebanyakan akan terlintas pada satu nama: KANG EMIL!

Foto original terdekat dengan Kang Emil, waktu meliput peresmian Alun-alun Ujungberung Juni 2015.
Ya, orang satu ini adalah salah satu public figure favoritnya masyarakat Bandung. Sangat disegani sama yang senior dan amat dicintai sama yang muda-muda. Walikota paling gaul menurutku karena Kang Emil selalu bisa memosisikan diri untuk kami yang masih muda dan jomblo. Semua status yang dituliskannya baik melalui twitter, laman facebook, maupun instagram selalu ada unsur motivasi buat kami yang masih muda. Berkat Kang Emil, anak-anak muda Bandung jadi semakin eksis dan kreatif dan terkesan dapat dipercaya. Pada akhirnya, yang diingat orang-orang tentang Bandung pun adalah anak-anak mudanya yang kreatif.

Berkat Kang Emil, semua orang yang tinggal di Bandung merasa jadi orang asli Bandung. Seperti aku ini, sudah merasa memiliki Kota Bandung. Sudah merasa kalau Bandung is my home. Hehehee... Entah dengan aji-aji apa sehingga Kang Emil bisa menumbuhkan rasa cinta kami terhadap Bandung, mungkin karena parasnya yang ganteng dan pembawaannya yang lucu. Gatau, banyak aja yang naksir sama Kang Emil dan anaknya #eh

Pernyataan cinta dari Pak Wali terganteng <3
Kota ini menurutku cocok buat mereka yang introvert. Meskipun terbilang ramai, sering macet, tapi kita masih bisa menikmati kesendirian di sini. Kenapa? Karena di Bandung ada banyak sekali tempat untuk menyendiri bahkan ada sebuah taman yang namanya sebenernya adalah Taman Pasupati tapi sering dijuluki Taman jomblo, soalnya di situ banyak kotak-kotak tempat duduk yang memang didesain buat sendirian. Atau kalau suka jalan kaki, sekarang Bandung sudah punya trotoar yang sangat memadai buat pejalan kaki.

Pernah di suatu Minggu yang sepi dan sendiri, karena bosan dengan Jatinangor aku melarikan diri sendirian ke Bandung. Rasanya ingin jalan-jalan muter-muter tapi jalan kaki. Akhirnya aku memutuskan untuk jalan-jalan ke satu taman ke taman lainnya. Start dari masjid depan Balaikota, aku parkir motor di sana lalu jalan kaki sampai Braga, menyusuri Jalan Braga, lihat-lihat bule, lihat mobil, lihat motor, lihat orang-orang selfie. Lalu jalan terus ke selatan sampai ke pengkolan yang ada tulisan B.R.A.G.A aku jalan terus sampai ke Jalan Asia Afrika. Lalu muter terus sampai ke Taman Vanda di depan Polres, jalan lurus menyusuri trotoar di Jalan Merdeka dan sampailah lagi aku kembali ke Masjid Balaikota tepat ketika adzan dzuhur berkumandang.

Hari Minggu itu Bandung tidak sepi, ramai seperti biasa. Tapi aku merasa tenang pas jalan-jalan sendirian itu. Entahlah, rasanya menyenangkan banget...

Taman Pasupati di suatu Minggu...

Jalan Braga pendek kini...

Taman Film Bandung kalau hari Minggu selalu begini kelihatannya.
Bandung dijuluki sebagai Kota Kembang karena dulunya Bandung ini adem sekali, ada banyak pohon dan kembang yang tumbuh dengan cantiknya. Sekarang, sih pohon-pohon masih rindang, setidaknya masih cukup menyejukkan kota, tapi kalau kembangnya mungkin kita cuma bisa temukan di tamna-taman tertentu. Selain itu, julukan tenar lainnya adalah Paris van Java, Kota Parisnya Pulau Jawa. Katanya, sih karena Bandung ini mirip sama Kota Paris. Aku belum pernah ke Kota Paris, ya jadi tidak bisa membandingkan dan menyamakannya secara realistis. Tapi pun kalau benar adanya bahwa Bandung ini punya kemiripan sama Kota Paris, setidaknya orang bisa membayangkan Paris itu seperti apa dengan berkunjung sejenak ke Bandung. Hm.

Bandung juga termasuk sebagai role model-nya kota kreatif. Mungkin karena ada banyak sekali komunitas yang basic-nya di Bandung sehingga itu menjadi indikator bahwa Bandung adalah kota kreatif. Kang Emil, sebelum naik menjadi walikota, pernah membentuk sebuah wadah komunitas Bandung namanya Bandung Creative City Forum (BCCF). Melalui forum ini, setiap komunitas di Bandung bisa mengusulkan sebuah program untuk mewujudkan Bandung yang lebih asyik. Beberapa project yang terkenal adalah Helar Fest, Kampung Kreatif, dan Simpul Institute.

Karena kreativitas warganya pula Bandung jadi lebih berwarna sekarang. Mural-mural yang dianggap vandal sekarang diperindah menjadi karya seni yang berharga. Taman-taman yang dulu abu-abu sekarang menjadi hijau, dan wajah-wajah yang suram itu sekarang lebih bercahaya :)

Salah satu simbol legendaris Kota Bandung: Gedung Sate! Ini adalah kantor Gubernur Jawa Barat. Gak afdol katanya kalo ke Bandung belom punya foto bangunan ini.

Setiap ada rekan yang datang kesini, aku selalu bilang "Hati-hati, ya. Bandung bikin jatuh cinta."
Bukan aku aja, sih yang ngomong gitu. Ada beberapa temennya temenku yang juga tinggal di Bandung mengatakan hal demikian. Bandung memang curang, dia mudah sekali mengambil hati manusia untuk mencintainya.

Di suatu malam Ramadhan beberapa waktu lalu (entah hari ke berapa puasa, aku lupa), ketika makan malam sama Geng Kuncup, kami asyik membincangkan Bandung. Kami yang waktu itu cuma berempat sepakat kalau Bandung susah untuk ditinggalkan. Tinggal di Bandung itu asyik. Kami berempat bukan orang Bandung. Aku dari Jogja, Mbahell dari Ponorogo, Andin dari Tarakan, dan Mentari dari Jakarta. Kami berempat tinggal di daerah yang mataharinya deket banget sama bumi, panas! Setiap pulang ke rumah masing-masing, kami merasa nggak betah karena kepanasan. Ingin rasanya segera kembali ke Bandung dan ketemu lagi sama temen-temen. Ah, di samping masalah panas itu, Bandung sudah memberikan kesan yang amat baik dalam benak kami. Kayanya Bandung akan selalu jadi latar tempat buat kami cerita ke anak cucu nanti.

Ya, Bandung memang tidak sesempurna yang aku gambarkan. Di balik semua itu masih ada banyak sekali masalah yang terjadi baik itu masalah sosial maupun politik maupun yang lainnya. Sampah di beberapa daerah di Kota Bandung masih belum dikelola dengan baik, kemacetan masih terjadi dimana-mana, transportasi masih kurang aman dan nyaman, banjir, dan sebagainya. Tapi, bagaimanapun juga buat siapapun yang baru sebentar singgah ke sini akan sangat mudah jatuh cinta pada Bandung.

Ini adalah kota tinggalku yang ke tiga seumur hidup setelah Jogja dan Solo. Tapi rasanya begitu sulit meninggalkan Bandung. Inginnya aku tinggal di sini aja selamanya. Bisa kah? Boleh, kah?

"Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi" -Pidi Baiq


.arifina007.



Comments

Popular posts from this blog

Guruku "tersayang" wkwkwk...

[Apresiasi Buku] Korean Cool: Di Balik Drama Reply 1988 sampai SMTown Paris 2012

Gadis Rantau #2: Antara Tempat Tidur dan Kamar Mandi