Pulang: Rindu, Rumah, dan Cinta

"Aku ingin pulang ke rumahku, Lintang. Ke sebuah tempat yang paham bau, bangun tubuh, dan jiwaku. Aku ingin pulang ke Karet."

sumber: gramediaonline.com

Jujur aja, aku baru pertama kali ini baca novelnya Leila S. Chudori dan nggak nyesel sama sekali setelah melahap habis isi buku ini.
Aku membaca ini karena termakan kata-kata Mas Seno Gumira A. yang waktu itu menjadi pengisi acara bedah buku 'Pulang' ini di kampus. Begitu pun penulisnya, Mbak Leila yang sedikit-sedikit membocorkan cerita apa aja yang ada di dalam buku itu, akhirnya aku pun membeli bukunya.

Well..
Ini adalah kisah tentang rumah. Tentang keluarga. Tentang persahabatan. dan tentu saja tentang cinta.
Yang menjadi menarik di sini adalah latar belakang ceritanya. Secara keseluruhan, latar belakangnya adalah Indonesia tahun 1965 sampai 1998. Ya, tahun-tahun krusialnya Indonesia. Tahun di mana Indonesia sedang dalam keadaan goyah karena orang-orangnya sendiri. 

Ada tiga peristiwa sejarah yang dilukiskan di sini: Gerakan 30 September Indonesia, Revolusi Perancis 1968, dan peristiwa Mei 1998 Indonesia. 
Adalah Dimas Suryo, Viviene Deveraux, dan Lintang Utara yang menjadi tokoh utama di sini. Ah, enggak juga, sih... ada banyak karakter dalam novel ini. Banyak sekali. Uniknya, setiap karakter itu memainkan dirinya sendiri, jadi hampir semua kisah di sini disampaikan oleh tokoh 'aku', sudut pandang orang pertama.

Mas Seno sendiri waktu itu memuji-muji keunikan ini. Pergantian tokoh 'aku' katanya ditulis secara halus.
Menurutku sendiri, setiap ada pergantian tokoh, aku seperti dibuat 'melonjak' dan bergumam "Oh, ini tokoh yang lain..." Mungkin awalnya bingung, tiba-tiba ceritnya beda, cara menyampaikan ceritanya juga berbeda, ternyata tokoh 'aku' sudah berganti. Tapi, dengan beginilah kita jadi asik membaca. Setiap tokoh diberikan ruang untuk bicara, untuk bercerita sesuai sudut pandangnya, sesuai dengan apa yang disaksikannya. Jadi, kita tau semua pemikiran orang-orang di dalam sini.

Di setiap potongan kisah, ada sebuah konflik yang nggak dijelaskan oleh si 'aku' satu, tapi di potongan lain konflik itu akan diceritakan oleh si 'aku' lainnya. Di sini, aku melihat bagaimana hubungan para tokoh ini, begitu dekat, begitu kompak, saling mengerti, dan saling menjaga.

Ini adalah perjalanan Dimas Suryo dan kawan-kawan yang dengan senaja terkapar di Perancis. Dimas adalah seorang wartawan. Ia ditugaskan oleh bosnya untuk ikut konferensi di Santiago dan pada saat itulah kisah perjalanan tak terduga ini dimulai. Tak pernah dia rencanakan sebelumnya ia tak akan kembali ke Indonesia lagi setelah itu. 

"Rumah adalah tempat di mana aku merasa bisa pulang." jawab Dimas.
-Pulang; 208-


Kenapa tidak pulang?
Pulang. Kata ini sangat sensitif bagi Dimas dan tiga sohibnya, Nug, Risjaf, dan Tjai. Sungguh, mereka ingin sekali pulang, pulang ke Indonesia, tanah air tercinta. Tapi keadaan memaksa mereka untuk tetap tinggal di Paris. Tiga puluh tahun mereka menetap di sana tanpa sekalipun menjejakkan kaki kembali ke bumi pertiwi. 
Namun, keluarga dan kerabat mereka tidak pernah menyarankan mereka untuk kembali ke sana. Bahaya. Nyawa mereka akan sangat terancam.

Indonesia 1965 adalah Indonesia yang berdarah-darah. Semua pasti tau bagaimana peristiwa G30S itu. Dimas mengisahkan bagaimana ia menyaksikan Sungai Bengawan Solo yang memerah dan bau mayat. Sungai yang membesarkannya. Akhirnya, ia membawa ibu dan adiknya ke Jakarta demi berlindung dan menjauh dari bahaya di Solo itu. 

Paris, meski 30 tahun lamanya mereka di sana, tetap saja mereka tak merasa itu sebagai rumah mereka. Rumah hanya satu: I.N.D.O.N.E.S.I.A

Galau. Itulah yang dirasakan mereka. Dari semua kisah yang disampaikan di sini, kita bisa dengan mudah menyimpulkan bagaimana galau dan kalutnya mereka yang sangat merindukan rumah. Dengan situasi yang mencekam seperti itu memang tidak mudah untuk memutuskan kembali ke Indonesia.
Mereka berempat adalah eksil politik, tahanan politik alias tapol karena mereka termasuk ke dalam keluarga PKI yang menurut pemerintah waktu itu harus dibasmi bahkan secara keji sekalipun. Tiga puluh tahun mereka di sana tidak lantas merasa aman. Berdasarkan surat-surat yang saling mereka kirimkan kepada keluarga di tanah air, keluarga di sana satu per satu digiring ke tempat entah di mana, yang jelas mereka semua diinterogasi mengenai suami mereka. Pada saat interogasi itulah di mana kegelisahan selalu menghantui empat eksil politik ini. Mereka takut keluarga mereka dihabisi, dilecehkan, disiksa, dan sebagainya.

Membaca novel ini, kita akan dibuat meringis, menangis, dan tak ada salahnya kalian tertawa. Ya, kerennya di sini, meski setiap situasi kebanyakan berlatar belakang mencekam, tapi ada satu bagian yang cukup menghibur, yakni bagaimana seorang Segara Alam berperan sebagai 'aku'. Bahasa yang disampaikannya jauh berbeda dengan tokoh lainnya. Alam ini orangnya gaul dan informal sekali, tak heran bahasa yang keluar adalah bahasa yang apa adanya, yakni apa yang terlintas di pikirannya, itulah yang akan dituliskannya.

"... . Puluhan tahun masyarakat kita dianggap tolol, tak bisa berpikir sendiri."
-Pulang;  267-

Ini adalah karya sastra. Novel sastra. Biasanya kalau karya sastra begini, bahasanya pasti aneh-aneh, terlalu puitis sampai pembaca awam nggak ngerti apa maksudnya, atau kalau kata Mas Seno "Bahasa sastra itu, kan biasanya menyudutkan kita...."

Tapi....
Sama sekali tidak untuk novel ini. Bahasa yang digunakan, tuh ya bahasa biasa aja, sebagaimana kita membaca novel teenlit, cuma memang bahasanya lebih formal. Nggak ada kata-kata kiasan di sini dan kata Goenawan Mohammad, novel ini bagus karena secara keseluruhan menggunakan bahasa Indonesia yang sebenarnya. Leila di sini nggak menggunakan kata-kata serapan, kalau pun ada bahasa asing, tulisannya dimiringkan. Dengan konflik yang rumit ini, Leila mampu menyampaikannya dengan sederhana sehingga kita juga mudah mengerti inti ceritanya.

Detail deskripsinya juga oke. Kita bisa membayangkan bagaimana ramainya Restoran Tanah Air yang didirikan oleh empat pilar Tanah Air: Dimas, Nug, Tjai, dan Risjaf. Bahkan peristiwa mencekam pada tahun 1998 ketika para mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa di gedung DPR seraya menyerukan kata "reformasi" lalu tiba-tiba ada serangan dari udara, terdengar suara tembakan dan teriakan orang-orang. Di situ, aku bener-bener merasakan ketegangan. Dahiku sampai berkerut, mataku menyipit, meringis, dan menahan nafas.

Cinta
Ini juga menjadi bumbu utama dalam novel Pulang. Kayaknya kalau nggak ada kisah cinta, sebuah cerita itu nggak ada apa-apanya. Eits, cinta di sini bisa berarti luas, lho... Cinta pada tanah air, cinta pada keluarga, cinta pada jalan hidup, dan tentu saja cinta pada lawan jenis. 

Cintalah yang juga membuat Dimas sangat ingin pulang. Dimas, meski sudah merajut dunia keluarga di Perancis, tapi sebagian hatinya masih tertancap di tanah air. Ada sosok yang tidak bisa ia lupakan dan selalu ia khawatirkan. Kita bisa lihat bagaimana tegarnya Viviene Deveraux, istri Dimas, bersabar dengan keadaan ini. Ia tahu, ia mencintai Dimas sepenuhnya, tapi Dimas sampai kapan pun tidak akan mampu memenuhi rasa cintanya pada Viviene.

Dan satu potong kisah milik Lintang Utara yang juga terpaksa harus memilih siapa yang sebenarnya ada di hatinya. Lintang memiliki kekasih di Paris. Sudah sangat lama. Namun, ketika ia ke Indonesia untuk memenuhi bahan skripsinya, le coup de foudre, cinta pada pandangan pertama itu terjadi padanya. Seorang pemuda, anak dari sahabat ayahnya, telah membuatnya terhipnotis dan debaran itu pun muncul.

Cinta memang rumit, bung! Di akhir cerita, kita akan ditunjukkan betapa 'memilih' adalah satu bagian dari hidup dan pasti akan kita hadapi. Betapa 'memilih' adalah suatu situasi yang tak mudah, ketika kita memutuskan satu, maka kita harus mengorbankan yang lainnya dan harus siap menerima risikonya.

I recommend you to read this book. Kalau ingin menyaksikan bagaimana kejinya masa itu secara halus dan tidak meluap-luapkan emosi, bacalah ini. Segala kisahnya disampaikan dengan santun, bro... menyenangkan sekali.

Akhirnya....
Aku berikan empat setengah bintang dari lima untuk buku ini. 
:)

Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau dia tak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya.
(Minke, 202) -Pramoedya Ananta Toer



.arifina007. 



Comments

Popular posts from this blog

Guruku "tersayang" wkwkwk...

[Apresiasi Buku] Korean Cool: Di Balik Drama Reply 1988 sampai SMTown Paris 2012

Gadis Rantau #2: Antara Tempat Tidur dan Kamar Mandi