The Kite #2

*baca dulu the kite #1

Ia tidak meminta nomor selulerku. Ia tidak menanyakan kabarku. Ia mungkin tidak tahu apa yang aku lakukan sekarang.

Kepergiannya tadi, layaknya terjadi sekejap mata, spontan saja.

Hanya tiga kali bertemu setelah hampir lima tahun tidak jumpa. Tiga kali dan tanpa ucap dariku. Sedih. Kecewa.

Sepi rasanya malam ini, meski kegiatan hanya dilakukan seperti biasa.

Biasa, makan malam-ibadah-menyelesaikan pekerjaan semalam suntuk-tidur. Namun, ini terasa hampa. Apakah aku merasa kehilangannya? Bukankah ia hanya kawan lama?

Tiba-tiba Bunda masuk dan tanpa mengetuk pintu. Aku agak kesal mendapatinya karena aku sedang melamun sendiri. Bunda seperti menyadari hal itu.

Kemudian beliau duduk di tempat tidurku, di belakang kursi kerjaku.

"Ketemu Gandhi?" pertanyaan pertama. Mengangguk.

"Di taman?" pertanyaan ke dua. Mengangguk.

"Cuma sebentar, ya?" pertanyaan ke tiga. Mengangguk.

"Kamu nggak ngajak mampir ke rumah?" pertanyaan ke empat. Menggeleng.

"Udah pergi lagi, Bun.." jawabku lirih.

"Oh, ya? Kemana? Kembali ke Bandung?" tanya Bunda.

"Nggak tau, Bun." jawabku pendek.

"Kok nggak tau?" aku tak tahu harus menjawab apa. Sepertinya aku hanya ingin sendiri malam ini. Aku meminta Bunda untuk meninggalkanku dan aku sendiri.

Dan baiklah aku kini sendiri. Yang ada dalam pikirku sekarang, mengapa ia kembali tanpa memberiku kabar sebelumnya? Mengapa ia datang saat aku memang sedang butuh teman? Seharusnya ada alasan berarti di balik semua ini. Curigaku, Bunda tahu semuanya tetapi semoga aku salah.

Apa mungkin ia kembali untuk meminta maaf? Sebuah kesalahan konyol yang berlangsung lama.

Apa mungkin ia kembali memang untuk pulang kampung? Sedikit logis.

Apa mungkin ia kembali..... Aku tak tahu lagi tebakan itu.

****

Senja. Lagi.

Bondan tak pernah melewatkan senjanya di taman ini. Hanya sebuah taman sederhana, tidak banyak objek menarik namun memang sangat nyaman untuk menghabiskan waktu disini. Lapangan futsal jadi-jadian memang ada di samping taman ini dan dibuka untuk umum, Bondan selalu bermain disana bersama teman-temannya. Sedangkan aku, sembari menunggu dan menemani adik kecilku ini memilih membaca buku, duduk di atas batu menghadap sebuah kolam koi kecil.

Tapi senja ini, seperti aku menanti kedatangannya. Gandhi. Ya, lelaki itu. Tahukah? Ia sahabatku, sahabat terbaik yang pernah ada setelah Ayah dan Bunda.

Biar kuceritakan tentangnya. Sedikit.

Namanya Gandhi, tentu sudah tahu. Awalnya kami kawan TK yang dipertemukan kembali waktu SMA. Masa kecil itu kami bukan apa-apa, bahkan sekelas pun tidak. Dan semasa SMA barulah kami satu kelas.

Gandhi berasal dari keluarga biasa saja. Ia bercerita, sewaktu SMP kedua saudaranya meninggal karena kecelakaan. Yang satu adalah saudara kembarnya dan satu lagi adalah kakaknya. Sekarang ia menjadi anak tunggal. Sebagai seorang anak lelaki, ia memiliki tanggungjawab yang tinggi. Ia tidak pernah ingkar janji kepada siapa pun. Tidak pintar tapi begitu kreatif.

Persahabatan kami buatku adalah hal yang indah.

Tidak, tidak biasa. Perjalanan kebersamaan kami tidak biasa. Percaya atau tidak kami tidak pernah bepergian bersama, mungkin hanya kalau ada urusan tertentu. Kami tidak pernah duduk bersama. Yang kami lakukan hanya saling berbagi, itu saja biasanya kami lewat pesan singkat. Di kelas kami juga berbaur dengan yang lain. Jika ditanya apa yang istimewa, kami akan kompak menjawab karena kami bersahabat. Ya, sederhana saja.

Cukup membicarakannya.

Gelisah. Entah mengapa aku khawatir. Menimang-nimang apakah ia akan datang senja ini. Mataku tidak fokus kepada barisan huruf yang berseru-seru minta dibaca. Sesekali aku mengangkat kepalaku, menengok sana-sini, mencari sosoknya, tapi tak pernah kutemukan.

"Kakak!!! Sudah maghrib! Ayo pulang!" lamunanku dikagetkan oleh teriakan seru Bondan. Ah, sudah adzan dan Gandhi benar-benar tidak datang. Baiklah, mungkin ia sudah kembali.

Aku berjalan sedikit lunglai menjemput Bondan.

"Kak, Kak Gandhi nggak dateng, ya?" pertanyaan Bondan sedikit menggetarkanku.

"Kayaknya enggak, kenapa? Pengen main layang-layang lagi?" tanyaku.

"Iya, kemarin Kak Gandhi bilang mau ngajarin aku bikin layangan." jawab Bondan. Aku hanya menghela napas. Kakak tidak tahu Bondan, Kak Gandhi sudah kembali ke Bandung mungkin.

****

"Gandhi?" seorang ibu balik bertanya kepadaku seolah lupa akan nama yang kuucapkan. Siang ini aku ke rumahnya.

"Iya, tante. Gandhi pulang, kan?" tanyaku lagi. Tante Listya, ibunya Gandhi seperti kebingungan dengan pertanyaanku.

"Maksud kamu, Gandhi balik dari Bandung? Kok Tante nggak tau ya?" Seolah sebuah batu besar menimpa kepalaku, rasanya ingin jatuh. Lantas kemana dia?

"Gandhi nggak bilang mau pulang, Al. Setau tante, Gandhi masih di Bandung menyelesaikan proyek pesawatnya."

Gontai. Keinginan untuk "bertemu kembali" hari ini gagal. Gandhi tidak pulang? Aneh. Sangat aneh. Lantas dimana ia tinggal selama ini?

Lantas lalu, entah otakku mengendalikan kakiku kemana, aku tidak tahu dan tahu-tahu aku sudah ada di taman ini. Tanpa Bondan pastinya karena ini masih pukul sepuluh pagi dan aku libur hari ini.

Sepi. Tidak ada siapa-siapa disini kecuali aku dan angin semilir. Hari cukup bersahabat pagi ini meski suasana hatiku sedang bimbang.

Aku menatap langit. Sedikit tersenyum.

Layang-layang. Tak akan pernah kulupa tentang teori layang-layangnya. Bahwa setiap manusia punya kebebasan seluas-luasnya untuk terbang. Itulah mengapa ia kini sekolah di teknik penerbangan, karena impiannya sejak kecil ingin terbang. Bukan, lebih tepatnya untuk mewujudkan impian kembarannya. Bukan juga, sebenarnya ini impian mereka berdua, sebuah obsesi yang harus mereka wujudkan.

Ya, dia memang tak pernah ingkar janji.

Hmph. Rasanya cukup renungan pagi ini. Aku memutuskan untuk pulang.

****

“Ini, kan hari Jumat?”

Sebuah suara alto yang khas di telingaku rasanya kudengar saat ini. Aku menoleh ke belakang. Gandhi.

“Nungguin aku?” tanyanya kemudian tersenyum. Ia duduk di sampingku.

Ini hari Jumat dan biasanya Bondan tidak bermain ke taman ini karena setiap hari Jumat ia mengikuti kelas sepakbola di sekolahnya. Jadi, untuk sore ini aku kesini tanpa Bondan dan ini memang agak tidak biasa.

“Kamu nggak bilang Mama?” tanyaku, mencoba membuka perbincangan. Ia diam.

“Katanya kamu lagi nyelesaiin proyek pesawat?” tanyaku lagi. Ia hanya menunduk seraya memain-mainkan benda yang ada di tangannya.

Sebuah layang-layang lumba-lumba. Kurasa itu untuk Bondan.

“Layang-layangnya bagus.” Komentarku. Ia menatapku dan tersenyum.

Ia sedikit menghela napas.

“Kamu pasti tanya kenapa aku pulang. Aku emang nggak kasih tau Mama atau Papa. Aku… aku Cuma…” kalimatnya terputus.

“Lalu kamu tinggal dimana selama ini?” tanyaku.

“Sebuah tempat yang nyaman.” Jawaban singkat yang tak jelas buatku. Ia tertawa kecil.

“Alasanku pulang… Aku mau kasih kabar buat kamu.” Ia merogoh sakunya. Seonggok kertas cukup lusuh pun kini dalam genggamannya.

“Yudhi. Lebaran kemarin nggak sengaja aku nemuin ini. Aku butuh kamu.” Katanya. Kubuka lipatan kertas itu, sebuah gambar layang-layang berbentuk burung garuda. Tampak gagah.

“Untuk apa?” tanyaku. Yudhi, saudara kembarnya, tepat seminggu sebelum kecelakaan itu terjadi, tengah merancang sebuah layang-layang besar untuk diterbangkannya di puncak gunung Bromo. Agak tak masuk akal memang. Tekanan disana sangat tinggi dan angin yang berhembus tak mungkin sama dengan angin yang berhembus di tempat kami tinggal ini.

“Serius?” aku masih tak percaya. Ia mengangguk mantap.

“Lalu apa?” tanyaku lagi.

“Aku tau kamu pendaki gunung yang tangguh. Aku butuh teman untuk sampai kesana karena aku tidak tahu menahu soal pendakian. Aku juga butuh bantuanmu untuk membuat layang-layang ini. Mama memang benar, aku sedang menyelesaikan proyek “pesawat” ku.” Jadi inikah proyeknya?

“Untuk apa sebenarnya?” aku masih bingung dengan alasan Yudhi melakukan hal aneh ini. Mereka berdua memang sama, selalu memiliki obsesi yang agak tidak masuk akal tapi bagaimanapun caranya, obsesi itu harus terwujud.

“Kamu akan tahu nanti. Jadi, bisakah kamu?”

Diam.

Baiklah. Demi Yudhi. Demi mimpimu. Demi kalian berdua. Demi kamu.

Comments

Popular posts from this blog

Guruku "tersayang" wkwkwk...

[Apresiasi Buku] Korean Cool: Di Balik Drama Reply 1988 sampai SMTown Paris 2012

Gadis Rantau #2: Antara Tempat Tidur dan Kamar Mandi