Gadis Rantau #6: The Most Epic Day of Life

Sore itu, Selasa, 3 Mei 2016 pukul 16.40 kami bertujuh berdiri sejajar dengan tangan gemetar, dingin. Gugup. Beberapa menit lagi kami akan mendengar keputusan kelulusan kami yang akan dibacakan oleh Pak Sekretaris Prodi. Aku berusaha sekuat tenaga menahan berdiriku karena kakiku sudah mulai goyah gara-gara mengenakan sepatu pantofel dengan heels setinggi 3 sentimeter. Berapa lama lagi, Pak pembukaannya? Aku harus mengejar kereta malam ini pukul 18.55 ke Stasiun Bandung..........





Lima tahun yang lalu, aku masih bertarung berdarah-darah untuk menghadapi ujian tulis SNMPTN yang kemudian pada bulan Juni 2011 aku dinyatakan lulus seleksi masuk ke Universitas Padjadjaran. Dan tepat lima tahun kemudian, bersamaan dengan pengumuman seleksi undangan SBMPTN 2016, aku dinyatakan lulus dari Universitas Padjadjaran. Wow, rasanya semuanya terjadi secepat kilat. Kayanya baru kemarin aku berdoa sekuat tenaga supaya lolos seleksi SNMPTN dan sekarang masa kuliah itu berakhir.

Sedih, ya...

Kalau dipikir-pikir, sebenernya dan sejujurnya hari itu tidak terlalu spesial. Entah kenapa, aku tidak merasakan kebahagiaan yang membuncah. Mungkin hanya rasa lega yang mampir sebentar ke dalam batin, tapi beberapa hari kemudian semuanya kembali biasa saja. Justru ada sebagian besar hatiku yang merasa berat. Iya, berat hati.

Aku mengerjakan skripsi dalam jangka waktu lima bulan, terhitung sejak dapat SK pembimbing sampai naskah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke sidang kolokium. Dibanding teman-temanku yang enam lainnya itu aku memang yang paling cepat, tapi bukan berarti aku juga yang paling puas atas semua proses ini hahaha... I also went through things, through hardships even after I passed the second trial before the last one on that Tuesday May 3rd. 

Perjalanannya sangat epik dan tidak jarang menimbulkan hari-hari yang gedubyahan-dung-tak-tak-tralala-trilili karena banyaknya hal yang harus diurus menjelang sidang, revisian, bahkan sampai setelah sidang. Semua meme-meme tentang dunia perskripsian yang ada di media sosial manapun itu akhirnya aku rasakan juga. Meme yang dosen pembimbing susah ditemui, meme yang berisi pertanyaan "skripsi udah sampai mana?", meme yang tentang malesnya ngerjain skripsi, meme yang nyindir-nyindir soal revisian, dan segala perjuangan berdarah-darah lainnya. I felt it!

Oke, cerita epik itu bermula ketika kami harus mengurus berkas-berkas persyaratan mengikuti sidang kolokium. Persyaratannya ada berlembar-lembar yang bisa diambil di fotokopian gedung 4 Fikom. Kami sampai harus bikin checklist supaya nggak ketinggalan satupun syaratnya, karena berabe banget kalo ada ketinggalan satu berkas aja di kosan sehingga memaksa kami harus balik dulu ke kosan dengan perjalanan yang cukup lama, bisa setengah jam itu total bolak-balik, lalu lebih bete lagi nanti kalau sudah sampai kampus lagi TU atau SBA-nya udah tutup. Hm banget ya.

Lalu banyaknya dokumen yang harus ditandatangani dosen. Bukan cuma dosen pembimbing, tapi juga dosen wali dan ketua prodi yang semuanya punya kesibukan masing-masing sehingga jadwalnya ada di jurusan suka beda-beda. Ini juga cukup menguras energi karena tiap hari kami harus ke kampus demi mendapatkan tanda tangan para dosen itu.

Kemudian kalo berkas udah selesai diurus ke SBA, kami masih harus menanti jadwal sidang yang selalu tidak diduga-duga jatuh temponya. Masih mending, untuk sidang kolokium bulan lalu kami dapat info setidaknya 3 hari sebelum sidang yang sebelum ada informasi itu perwakilan dari kami bertujuh udah sering follow up info jadwal sidang ke jurusan. Waktu itu setidaknya kami udah punya kepastian kapan sidang sehingga bisa mempersiapkan segalanya lebih matang.

Hingga tibalah waktunya sidang terakhir, sidang skripsi, sidang yang dilaksanakan setelah sidang kolokium, setelah kami menyelesaikan revisi naskah. Dari teman-teman yang udah menjalani semua proses ini, sidang skripsi memang atmosfernya berbeda. Peserta sidang nggak lagi ditanyai tentang naskah, teori, metode, dan permasalahan penelitian, tapi pertanyaannya lebih general dan meluas, seperti tentang hasil revisi, kegunaan penelitian, dan sebagainya. Suasananya pun katanya lebih adem, lebih tenang ketimbang sidang kolokium yang suasananya hampir kayak neraka, panas dan penuh benci wkwkwk.. Tapi bagaimanapun juga sidang terakhir ini tetep penting untuk memutuskan apakah kami lulus atau harus mengulang sidang lagi.

Deadline kami mengerjakan revisi naskah adalah 2 minggu. Sebagian besar dari kami mengumpulkan lebih cepat dari tenggat waktu dengan harapan sidang akhirnya juga dipercepat. Namun, hampir dua minggu lamanya setelah kami semua sudah mengumpulkan naskah revisi untuk melanjutkan ke sidang akhir, kami tak kunjung dapat informasi kapan akan sidang. Setiap hari di grup LINE kami bertujuh ribut sendiri, saling bertanya sidangnya kapan dari pagi-pagi habis subuh sampai menjelang tengah malam. Salah memang kalau kami saling bertanya satu sama lain karena sebetulnya semua informasi itu adanya langsung dari jurusan, tapi pun setiap kami tanya ke pihak jurusan kapan sidang kami selalu dapat jawaban yang tidak pasti.

Umur hasil kolokium itu konon katanya cuma sebulan. Nah, kami sidang kolokium pada bulan April tanggal 8. Tepat minggu pertama bulan Mei, kalender menunjukkan akan adanya libur panjang akhir pekan yang mulai jatuh dari hari Kamis tanggal 5 Mei sampai hari Minggunya. Inilah yang membuat kami resah. Kalau akhir bulan April kami tidak sidang skripsi lalu kapan lagi? Masa iya kami harus mengulang kolokium? Mengulang drama episode yang lalu? Sampai bulan April berakhir tanggal 30 kami tidak kunjung dapat informasi. Iya, kami sampai hampir gila menantinya. Ini serius. Obrolan kami di grup makin nggak keruan, segala sticker dikirimkan tanpa memikirkan kontekstualitas dengan topik pembicaraan.

Harus Pulang
Malam tanggal 28 April 2016 aku dapat telepon dari rumah. Sekeluarga berencana akan liburan ke Malang naik mobil di akhir pekan bulan Mei itu. Aku sedih. Kenapa ketika aku belum jelas kapan sidang aku diberikan berita ini? Sifat kekanak-kanakanku pun muncul. Pokoknya aku harus ikut liburan atau mereka nggak berangkat sama sekali kalau pekan depan aku belum sidang juga. Belum lagi aku stres kalau memang harus pulang ke Jogja tiketnya sudah (hampir) sold out! Lalu aku pulang naik apa nanti? Di tengah kepanikanku itu, entah bagaimana kondisi di rumah, tapi orang-orang rumah langsung berusaha carikan tiket kereta buatku pulang. DAPAT! Aku harus pulang ke Jogja tanggal 3 Mei 2016 dengan kereta Lodaya keberangkatan pukul 18.55. Okelah, yang penting tiket dipegang dulu. Urusan sidang nanti aja, sampai bodo amat kupikirnya.

Lalu, Senin, 2 Mei 2016 ketika aku bangun pagi pukul 7.00 kami masih belum juga dapat kabar sidang. Aku berpikir keras, gimana kalau besok sidangnya? Gimana kalau lusa sidangnya? Aku nggak pulang dong? Lucu, ya. Aku sudah berpikir entah dengan sidang, aku cuma ingin pulang. Frustasi rasanya menanti jadwal sidang itu. Dan tepat pukul 9.40 ada SMS masuk.

INI DIA! INFORMASI SIDANG! AKHIRNYAA!! PENANTIAN KAMI YANG BERABAD-ABAD ITU TERJAWAB SEKARANG!

Tunggu....

Jadi, kapan sidangnya?

Oh.. My.. God.. Sidang skripsi akan dilaksanakan besok siang! Iya, besok, tanggal 3 Mei 2016 pukul 12.00. Perutku bergejolak, kepalaku pening, lemas. Wow, sehari sebelum sidang baru dikabarin! Gila, keren emang greget pisan ini. Tapi mungkin karena udah cuman tinggal sidang akhir jadi informasinya juga dadakan kalem weh. Kami dapat sms itu ketika kami belum mempersiapkan apa-apa. Kami bertujuh bahkan belum bikin slide presentasi yang baru. Aku yang seharusnya hari Senin itu pergi sama teman, akhirnya harus dibatalkan. Kami begadang malam ini.

Sepanjang haru aku galau. Sedih. Pusing.
Aku nggak mikirin sidang besok gimana, tapi gimana aku pulang besok? Bisakah aku pulang besok? Bisakah aku sampai ke Stasiun Bandung yang jaraknya 26 kilometer dari Jatinangor ini sebelum kereta lepas landas? Ponselku berkali-kali berdering, banyak pesan dan telepon masuk dari ibuk. Aku pesimis dengan semuanya. Pesimis besok bisa kekejar itu kereta jam 18.55 dan pesimis dengan pelaksanaan sidang besok. Yang jelas aku tetap mempersiapkan keduanya. Sore aku sudah packing baju dan segala keperluan untuk dibawa pulang, malam aku mempersiapkan diri untuk sidang. Malam itu aku nggak bisa tidur. Bukan karena memikirkan dua hal itu, tapi karena aku lapar...
Sudahlah, akupun memaksakan untuk tidur.

Keesokan harinya, entah kenapa perut ini nggak mau nerima makanan apapun. Lapar emang. Aku sarapan roti bakar telor favoritku, biasanya habis dalam waktu lima menit. Tapi pagi itu aku makan roti dalam waktu setengah jam. Sesudah itu sampai siang aku nggak makan lagi.

Aku berangkat ke kampus pukul 11 menjelang dzuhur. Pukul 12 tepat jurusan sepi sekali, hampir tidak ada orang. Kamipun sholat dulu dan terus menunggu hingga akhirnya sidang baru dibuka pukul 13.40. Aku semakin gelisah. Menghitung setiap menit yang berlalu dan berpikir "kapan selesainya? Bisa ke stasiun tepatwaktu nggak, ya?". Kami bertujuh dibagi menjadi dua ruangan. Aku dapat di ruangan lantai 3 bersama kedua orang temanku. Pukul 14 di ruangan bawah sudah mulai sidangnya sementara kami bertiga masih harus menanti kedatangan para dosen. Akhirnya, sidang kami bertiga mulai sekitar pukul 14.30. Aku semakin gelisah. Pikiranku tak keruan. Aku ribut sendiri di grup keluarga. Ngomel-ngomel nggak jelas dengan perut masih kosong. Tidak ingat kalau belum makan.

Drama berlanjut. Aku akhirnya keluar dari ruang sidang pukul 15.45 pada giliran ke dua. Tinggal satu kawanku yang belum sidang dan dia terancam tidak bisa sidang hari itu lantaran satu dosen pengujinya tidak hadir. Ia sudah berkaca-kaca, hampir putus asa. Beruntunglah, dosen pengujinya bisa digantikan oleh Pak Sekjur sehingga ia tetap bisa sidang sore itu.

Yudisium baru dilaksanakan sekitar pukul 16.15. Tanganku semakin dingin sampai tidak berani melihat jam tangan. Rencananya kalau yudisium selesai pukul 16.00 aku berangkat ke Bandung pukul 17.00. Tapi kenyataannya berbeda jauh. Aku harus sabar.

Dan usai sudah yudisiumnya tepat pukul 17.00. Oh, tidak... Jadi pukul berapa aku harus berangkat ke Bandung??? Aku masih harus ganti baju dan bebersih, sempatkah? Belum lagi berfoto-foto sama teman-teman. Untungnya semua baju sudah disiapkan dan barang-barang sudah aku taruh di dekat pintu kamar, jadi kalau aku harus buru-buru aku tinggal mengambil tas saja lalu langsung cabut. Sayang sekali, karena aku terburu-buru jadi tidak sempat foto dengan semua teman. Pukul 17.30 aku kembali ke kosan untuk mengambil barang. Oleh teman-temanku aku disarankan untuk tidak usah ganti baju atau bahkan mandi. Jadilah aku masih berkostum sidang dengan cuma ganti bawahan dengan celana jeans.

Dengan kecepatakn sekitar 80 km/jam, Ucok membawaku ke stasiun Bandung naik motor Revonya. Untungnya jalanan tidak begitu ramai ke arah Bandung dan akhirnya aku sampai stasiun dengan sangat selamat 12 menit sebelum kereta melaju pergi lepas landas dari Bandung.

Hari itu berlalu begitu cepat. Aku hampir tidak ingat kalau malam itu aku sudah sarjana. Aku bahkan lupa kalau aku belum makan seharian, baru makan roti bakar tadi pagi yang cuma sepotong.
Aku sangat bersyukur, hari-hari yang penuh dengan penantian itu akhirnya usai. Kegelisahan kapan sidang dan apakah aku bisa pulang itu terjawab. I got it all. Aku juga dapat drama-drama yang jauh lebih seru dari drama korea. Sebuah drama yang menyisakan sedikit luka meski tetap membekaskan bahagia. Ya, ada luka yang belum hilang sampai sekarang dan aku ingin mengobatinya, tapi aku kesulitan.

Hari paling heroik itu nggak akan aku lalui dengan mudah tanpa adanya dukungan dan doa dari teman-temanku di sini.

big thanks to you, buds!

.arifina007.




Comments

  1. Terima kasih telah menggunakan jasa Ucok-jek.

    Have a fast ride!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ghahahaa bikin sana cok Ucok-jek, slogannya have a fast ride! wkwk

      Delete
    2. Ghahahaa bikin sana cok Ucok-jek, slogannya have a fast ride! wkwk

      Delete

Post a Comment

Yuk, share your thought!

Popular posts from this blog

Guruku "tersayang" wkwkwk...

[Apresiasi Buku] Korean Cool: Di Balik Drama Reply 1988 sampai SMTown Paris 2012

Gadis Rantau #2: Antara Tempat Tidur dan Kamar Mandi