Ekspektasi Tinggi Itu Nggak Baik (Part 2: Review Film Bulan Desember 2014)

Supernova KPBJ: "Kapan kelarnya, sih?"

Yah, sekiranya itu pernyataan paling berkesan dari mulutku pas nonton Supernova KPBJ. Langsung aja, deh... menurutku film adaptasi dari mahakarya novel Dee Lestari ini nyaris gagal! Kecewa abis. Sedih. Kasihan sama Ibu Suri Dee. Bete!
Well, sebenernya sejak teaser movie Supernova ini rilis aku udah pesimis. Waktu itu bahkan belum dibocorin siapa aja pemainnya, tapi aku udah pesimis. Bayangin, dong.. buat yang udah baca novelnya, sih.. Novel Supernova itu ceritanya nggak main-main lho. Daya imajinasi dan logika kita harus jalan bebarengan dan yang pasti imajinasi setiap pembaca akan beda-beda sesuai dengan perspektif pemikirannya walaupun cerita yang dibaca sama. Pasti akan sangat sulit divisualisasikan, apalagi untuk bagian Akar dan Partikel. Ah, Akar masih realistis. Partikel itu udah berangan-angan banget. Kalau Supernova versi film bakal dibikin seutuhnya sampe seri ke-6, entah seperti apa visualisasinya. Diriku pesimis.

Pesimis ini makin jadi ketika pemain-pemainnya dirilis. Herjunot Ali, Fedi Nuril, dan Raline Shah. Buat yang udah nonton film 5cm pasti hafal dong, nama-nama itu? Belum lagi Paula V yang memerankan Diva. Georgeus? Ah, nggak semenawan Diva yang ada di novel menurutku. Tapi tiga nama yang aku sebutin di atas itulah yang paling bikin aku pesimis sama film ini. Herjunot jadi Ferre, Fedi jadi Arwin, dan Raline Shah jadi Rana. Duh, nggak sesuai bayangan rasanya.

Terlebih produser film ini sama dengan produser 5cm, Soraya Pictures. Di awal film penonton ditunjukkan casting dan orang-orang yang bertanggung jawab dalam film ini. Penulis skenario adalah Donny Dhirgantoro yang nggak lain adalah penulis novel 5cm dan pengisi soundtrack-nya adalah Nidji yang nggak lain juga adalah pengisi soundtrack film 5cm! Apa artinya ini? Segitu susah move on-nya kah Soraya Pictures dari filem 5cm yang nyatanya juga biasa aja itu? Wow.

Dan ke-bete-an dari nonton film ini juga sudah muncul sejak film dimulai. Di awal film ada sebuah narasi yang dibacakan oleh Diva. Haduh, suaranya Paula V menurutku kurang anggun, nggak enak didengar. Sumpah itu bete banget, mana narasinya puanjang pula~ Artikulasi kata yang diucapkan Paula nggak bagus, ekspresi suaranya juga nggak berwarna. Sejak itu aku sebenernya jadi males nonton filmnya, tapi apa daya udah bayar Rp 20ribu dan demi membandingkan dengan novel, aku bertahan sampai selesai.

Ketika orang-orang mengagung-agungkan film ini, aku justru enggan mengomentari. Saking dongkolnya, bro! Baru sekarang aja bisa komentar karena mood-nya udah lumayan bagus haha. Ah, mungkin lagi-lagi aku berekspektasi terlalu tinggi. Tapi enggak juga sih, da dari awal teh udah pesimis sama filmnya. Cuma penasaran aja sama sinematografinya yang emang keren!

Kecewa bertambah ketika sosok Gio nggak ditampilin sama sekali. Ada juga adegan tambahan di akhir ketika ternyata pemegang akun SUPERNOVA adalah Diva dan dia menyerahkan seluruhnya kepada Ferre. Di sini aku nggak ngerti maksudnya apa, haha.. nggak nyampe, euy pikirannya. Udah bete duluan :)
Belum lagi monolog-monolog setiap tokoh di akhir film. Haduh, ini nih yang bikin aku bergumam "Ih, kapan selesainya, sih????" Ya, soalnya semua tokoh di sini dikasih monolog. Tau deh isi monolognya apaan, aku milih menutup mata karena udah bosan sama sekali.

Sosok Ferre yang harusnya gagah tinggi ternyata diperankan oleh sosok yang menurutku kurang berisi dan terlalu melankolis. Ferre di bukunya memang digambarkan sebagai sosok cowo melankolis, sih sejak menjalin hubungan dengan Rana. Tapi Herjunot kelewat mellow, jadi agak risih gitu lihatnya.
Sosok Rana yang kupikir tampilannya kaya reporter ala kadarnya ternyata diperankan secara sempurna. Maksudnya penampilan fisiknya terlalu sempurna menurutku. Rana di film pake dress, anggun deh pokoknya. Sedangkan dalam pikiran aku Rana cuman pake kemeja dan celana jeans, gimana layaknya reporter aja. Selain itu, Raline terlalu kaku membawakan peran Rana. Kaku banget, ngga enak lihatnya.
Fedi Nuril yang memerankan sosok Arwin, suami Rana juga menurutku kurang berwibawa. Kayaknya malahan lebih cocok yang mainin Dimas yang jadi Arwin, soalnya gagah. Arwin di film ini juga terlalu melankolis. Ah, kenapa cowo-cowo Supernova pada melankolis, ya? Mbak Dee, kenapa cowo-cowonya melankolis? *tanya Ibu Suri*
Sosok Diva... ya, gitu deh. Ekspresi suara dan wajahnya kurang greget. Kalau watak dinginnya sih, lumayan dapet, tapi intonasi suara Paula nggak enak didengar. Membosankan.
Sosok Dimas dan Reuben menurut aku udah keren. Chemistry-nya dapet loh mereka berdua sebagai pasangan gay, haha.. sampe-sampe penonton di bioskop histeris pas lihat Arifin Putra menggenggam tangan Hamish Daud.

Walopun ngebosenin, seenggaknya penonton dimanjain matanya dengan sinematografi yang apik banget. Efek gambarnya juga rapi. Yah, ala-ala 5cm gitu deh. Tapi salut sama Soraya yang mampu menampilkan sinematografi yang bagus. Sayangnya (lagi) nih, di film ini kebanyakan ditampilin situasi Kota Jakarta dari atas. Berapa kali ya scene kaya gitu? Banyak pokoknya, jadi berasa monoton gitu. Wardrobe-nya juga terlalu mewah, atau imajinasi saya aja yang terlalu sederhana? Tau, deh...

Film ini membosankan! Dua orang yang duduk di depanku bahkan walk out di tengah-tengah film.
Biasanya kalau film udah selesai aku nontonin sampe credit title walaupun nggak sampe terakhir soalnya mamang tukang bebersih studionya udah nungguin. Tapi hal itu nggak aku lakuin pas nonton film ini. Begitu lampu studio nyala aku langsung berdiri dan ngajak temenku segera keluar. Bete. Temenku pun cuma senyum kecut pas filmnya habis. Bete juga rupanya dia.

Overall, aku kasih poin 4/10 deh buat film ini. Maaf, karena memang film ini kelewat batas hahahaa...
Semoga Supernova-supernova selanjutnya nggak dibikin sama Soraya. Semoga nggak dibikin sama sekali juga, deh... takut kecewa lagi. Maju terus perfilman Indonesia!!!


.arifina007.

 

Comments

Popular posts from this blog

Guruku "tersayang" wkwkwk...

[Apresiasi Buku] Korean Cool: Di Balik Drama Reply 1988 sampai SMTown Paris 2012

Gadis Rantau #2: Antara Tempat Tidur dan Kamar Mandi