Menulis Apa Saja

Kegiatan dan pekerjaan saya saat ini adalah berselancar kesana dan kemari di dunia maya. Meskipun membosankan, paling tidak setelah keluar dari dunia maya itu otak saya tidak kopong. Ya, ada banyak sekali tulisan-tulisan menarik di dalamnya sehingga merangsang otak saya untuk terus berpikir.. berpikir.. berpikir.. dan berkreasi. Satu hal yang selalu saya kagumi dari setiap artikel yang saya baca adalah penulis artikelnya.  
 
 
Memang, tidak semua artikel yang ada di dunia maya tersebut merupakan karya orisinil si penulis. Tidak sedikit yang cuma menyadur, menulis ulang, atau bahkan menjiplak tulisan yang sudah ada dengan topik serupa. Namun, bukan soal jiplak-menjiplaknya yang jadi kekaguman saya melainkan kreativitas si penulis itu.

Saya memang senang sekali menulis, tapi sejujurnya saya tidak seproduktif para blogger maupun penulis buku yang sudah terkenal. Meski sudah ada banyak cerita yang saya tulis, seringkali cerita itu berhenti di tengah jalan. Saya kebingungan untuk melanjutkannya. Mungkin terlalu banyak mikir soal topik tulisan yang saya rasa sudah terlalu mainstream atau kalau menulis artikel opini misalnya, saya tidak terlalu berani menulisnya dan membagikannya lewat media sosial lantaran saya merasa masih cetek ilmu. Minder. Ya, itu yang saya rasakan, makanya malah tidak terlalu produktif menulis padahal saya akui saya punya banyak ide dan gagasan untuk ditulis.

Pertanyaan saya, kenapa orang-orang bisa saja menulis apapun? Ya, apa saja bisa jadi bahan tulisan dan mereka unggah lewat media sosial maupun ruang media online lainnya. Saya heran. Padahal pun gagasan pokok tulisannya bukanlah gagasan pokok yang antimainstream. Sederhana. Tapi mereka bisa menarik banyak pembaca. Saya kasih contoh, adalah Fahd Djibran, salah satu penulis buku-buku inspiratif beraroma kisah-kasih antar manusia. Di laman facebooknya ia sering sekali menulis pengalaman pribadinya tentang kehidupan berumah tangga, tentang cinta, dan tentang passion. Hampir setiap hari tulisan di statusnya itu ada dalam linimasa facebook saya dan saya pikir sebenarnya bahasannya sama seperti yang lalu-lalu, namun cara Fahd mengutarakan pemikirannya dalam kata itu yang membuat saya tulisannya jadi berbeda. Begitu pula Tere Liye yang lebih sering menulis status facebook sesuai dengan topik yang tengah hangat di masyarakat. Satu lagi yang juga selalu bikin saya geleng-geleng kepala dengan produktivitas menulisnya adalah pemimpin redaksi saya di GNFI, Akhyari Hananto alias Mas Ari. Setiap harinya ia bisa mengunggah lebih dari 4 tulisan ke laman web GNFI sementara saya merasa selalu kesulitan mencari bahan tulisan berita baik untuk GNFI. Kok bisa, ya?

Ya, sebenarnya kita bisa menulis apa saja yang terlintas dalam benak atau apa saja yang terjadi di sekeliling asalkan hal itu cepat-cepat ditulis. Apa pun yang terjadi di sekitar kita bisa kita tulis. Kuncinya kalau saya pikir adalah kecepatan. Saya tidak menampik kalau saya sendiri juga punya banyak pengalaman, apa pun. Dua puluh satu tahun hidup di dunia ini, tentunya ada banyak sekali hal yang terjadi dalam hidup tersebut dan itu yang kita sebut dengan pengalaman. Jadi, sebenarnya minder menulis itu tidak perlu. Pengalaman orang memang berbeda-beda, itu yang harus kita akui dan camkan. Justru perbedaan itu yang akan menjadi keunikan di setiap tulisan kita. Nah, berdasarkan pengalaman kita sendiri itu, secepat-cepatnya harus bisa jadi bahan tulisan. Ide tulisan itu seperti buah apel, sekali dikupas harus langsung dimakan supaya tidak lekas berubah warna jadi kecokelatan. Kalau sudah cokelat, kita jadi malas memakannya, kan? Ujung-ujungnya kalau dibiarkan jadi busuk, dibuang deh akhirnya. Kalau sudah dibuang berarti hilang, kalau sudah hilang berarti kita harus mencari apel yang baru. Ya, sekiranya sama dengan ide tulisan. Kalau tidak segera ditulis, keburu mood menulisnya hilang, ide itu pun menguap entah kemana.

Seperti kata Dewi Lestari juga, menulis itu harus dibiasakan, kalau tidak jangan mengada-ngada impian untuk menjadi penulis sebab para penulis yang sudah kita kenal pun berangkatnya dari kebiasaan menulis itu sendiri. Soal pembaca itu urusan nanti, kata Ibu Suri. Biarlah pembaca yang mendatangi kita, bukan kita yang mencari pembaca.

Selamat hari Minggu. 
Selamat menulis!
 
 
 
.arifina007.
 

Comments

Popular posts from this blog

Guruku "tersayang" wkwkwk...

[Apresiasi Buku] Korean Cool: Di Balik Drama Reply 1988 sampai SMTown Paris 2012

Gadis Rantau #2: Antara Tempat Tidur dan Kamar Mandi