[Apresiasi Buku] Korean Cool: Di Balik Drama Reply 1988 sampai SMTown Paris 2012

Judul : Korean Cool
Penulis : Euny Hong
Penerbit : Bentang Pustaka
Tebal buku : xx + 284 hlm; 20,5 cm
Cetakan ke : Pertama
Tahun terbit : 2016

Apa yang terlintas pertama kali dalam benakmu ketika mendengar sebuah negara bernama Korea?
Jawabannya kalo enggak cowok ganteng, flower boy, Super Junior, ya SNSD. Korea yang kita kenal sekarang adalah salah satu negara paling keren di dunia dan negara paling berjaya se-seantero Asia. Tapi, Korea sekitar tiga hingga empat dekade lalu bukanlah negara yang kita tau sekarang. Korea tiga hingga empat dekade lalu adalah negara miskin yang pendapatan per kapitanya lebih rendah dari Guatemala dan Zimbabwe lalu sekarang kita menyaksikan sendiri perubahan besar yang dilakukan Korea. Buku ini bakalan membuka wawasan kita tentang apa yang dilakukan Korea sampai-sampai mereka bisa jadi raksasa Asia sekarang.

Korea sama sekali tidak keren pada 1985. (hlm. xi)


source: http://insideseoulhostel.com/

Tahun 2012 lalu, salah satu channel TV Korea, TvN, menayangkan drama serial berjudul Reply 1997. Setahun kemudian, TvN kembali menayangkan drama serial yang satu tema, judulnya Reply 1994 dan tahun 2015 kemarin TvN agaknya meraih rekor rating tertinggi dalam penayangan drama serial Reply yang judulnya Reply 1988. Serial Reply yang terbaru ini walaupun settingnya paling jadul tapi ratingnya paling tinggi dan ceritanya emang jauh beda sama dua Reply sebelumnya. Reply 1988 lebih banyak mengisahkan tentang kehidupan lima keluarga yang bertetangga di kompleks rumah Ssangmundong dan pengetahuan tentang realitas Korea pada masa itu.

Waktu nonton serial drama Reply, aku bertanya-tanya, kenapa tahun 1997? kenapa tahun 1994? dan kenapa tahun 1988? Nggak ada angka yang lebih keren gitu? Ah, ternyata setiap tahun judul drama Reply itu punya tanda tersendiri dalam sejarah kehidupan Korea. Tahun 1997 menandai terjadinya krisis moneter di Asia yang bikin Korea semakin bangkrut, tahun 1994 menandai terjadinya konfrontasi antara Korea dengan Amerika, dan tahun 1988 menandai Korea (Selatan) yang ganti sistem pemerintahan jadi negara demokrasi.

Bagi yang nonton serial Reply 1988 pasti tau sedikit gimana potret negara Korea pada waktu itu. Masih jadul, bajunya nggak banyak, kehidupannya masih sangat sederhana. Ya, begitulah Korea tahun 1988, mirip-mirip sama yang ditulis dalam buku Korean Cool ini.

"Pada masa itu, butuh perjuangan berat untuk membujuk agen para artis. "Orang-orang akan bertanya, 'Di mana itu Korea?' " Kenang Chung. (hlm. 189)

Korean Cool adalah buku yang cukup keren buatku. Ditulis oleh Euny Hong, seorang jurnalis keturunan Korea yang pernah besar di Amerika dan nggak pernah bangga jadi orang Korea. Walaupun terjemahan, tapi bahasanya dikemas dengan sangat ceria jadi kalo baca kita nggak akan bosen. Melalui buku ini Euny Hong pengen ngasih tau ke kita soal perkembangan Korea lima dekade lalu sampai Korea yang keren seperti sekarang ini, bahwa Korea sebenernya nggak sekeren yang kita kira.

Jadi, gimana Korea bisa jadi sebesar ini bahkan sekarang mengalahkan rival alotnya, Jepang?

Intinya, dalam kepribadian masyarakat Korea sudah tertanam yang namanya konsistensi. Dan satu hal yang unik yang dimiliki orang Korea dan disebut-sebut menjadi rahasia utama atau "bahan bakar" kesuksesan Korea adalah han. Kalau menurut Hong, agak sulit menjelaskan apa itu han, tapi kalau disederhanakan han itu bisa diibaratkan sebuah "kemarahan" atau "ambisi".

Han ini yang kemudian membuat Korea semangat untuk bangkit dari krisis moneter Asia tahun 1997. Kalau kata Hong, kalau bukan karena krisis itu mungkin nggak akan pernah ada Korean Wave. Nah, di saat negara lain mencoba bangkit dari krisis moneter dengan cara melakukan pembangunan industri dalam negeri bermodal pinjaman uang kesana-sini, Korea memilih melakukan ekspansi budaya populernya ke luar negeri, target utamanya adalah Asia dan Amerika Serikat.

"Sangat sedikit negara yang pernah mencoba menjual budaya populer mereka ke Amerika Serikat. Bahkan, Jepang pun tak pernah mencobanya." - Lee Moon-won, Kritikus budaya populer Korea (hlm.92)

Budaya populer yang dijual Korea bukan cuma K-Pop atau K-Drama seperti yang kebanyakan dikonsumsi anak-anak muda Indonesia sekarang ini. Di samping itu ada film, video games, dan teknologi. Siapa sangka, Samsung yang sekarang jadi salah satu merk barang elektronik maha besar dulunya suka disebut dengan Samsuck saking payahnya kualitas.

Karena aku orang Indonesia, jadi ketika baca buku ini aku pun selalu terngiang sama negeri elok amat kucinta ini. Korea berani tampil beda, membuat terobosan menjual budaya populer ketimbang teknologinya kepada dunia. Ini, kan sebenarnya juga bisa dilakukan sama Indonesia. Coba direnungkan, kita punya banyak sumber daya alam (yang Korea bahkan enggak punya sebanyak kita), budaya kita sangat beragam, makanan kita buanyak banget, pun manusia-manusia Indonesia sejatinya adalah manusia yang kreatif, jadi sebenernya kalau kita punya mental yang lebih gigih kita bisa sama kayak Korea.

Nih, ya, soal musik contohnya. Hong dalam buku ini menceritakan gimana suramnya permusikan Korea di masa lalu. Korea nggak punya pengetahuan musik yang luas karena sekitar tahun 70-an pemerintah melarang musik-musik barat dimainkan di Korea. Walhasil sedikit dari masyarakat Korea yang kenal dengan The Beatles (pada waktu itu). Pun dengan jujur Hong menuliskan kalau sebenernya artis-artis Korea itu, dalam hal ini penyanyi, nggak begitu paham dengan mengkreasikan musik. Kebanyakan label musik Korea menggunakan orang-orang Eropa dan Amerika untuk memproduksi lagu-lagu K-Pop. Alasannya, ya karena mereka tidak punya banyak pengalaman dalam bermusik.

Ini semacam percobaan bunuh diri. Korea yang nggak punya pengalaman musik dunia berani maju ke hadapan dunia dengan menampilkan K-Pop dan film. Indonesia harusnya lebih mampu untuk melakukan ini. Pemerintah Korea pun ketika mereka udah bertekad mau menjual budaya populernya, mendukung penuh segala aktivitas kebudayaan bahkan di Kementerian Kebudayaan mereka punya divisi yang menangani "teknologi budaya", yakni kombinasi antara teknologi dengan kebudayaan. Salah satu contoh produknya adalah konser hologram, jadi para artis bisa konser secara serempak di seluruh dunia tanpa harus hadir secara fisik. Gila nggak, sih? Ah, seandainya Indonesia bisa berani seperti ini.

Makanya, menurutku buku ini sangat pantas dibaca oleh semua orang, terutama K-Popers. Membaca buku ini bikin aku jadi paham gimana sebaiknya Indonesia memperbaiki citra diri dan menjadi lebih percaya diri dengan kemampuannya yang sangat berlebihan ini sehingga bisa besar seperti Korea. Mereka besar cuma dalam hitungan nggak sampai tiga dekade sejak krisis Asia 1997. Buku ini bisa jadi tamparan buat K-Popers Indonesia karena mengingatkan kepada kita: jangan terlalu meninggikan Korea. Jangan terlalu membanggakan Korea. Banggakanlah negaramu, potensi negaramu. Strategi ekspansi ala Korea ini bisa jadi inspirasi buat kita semua untuk memajukan negara, duhai anak-anak muda Indonesia yang terlanjur skeptis dengan bangsanya sendiri.

"Apa yang tidak keren dari Korea? Korea adalah tempatnya produk elektronik canggih, wanita-wanita cantik berkaki jenjangm pria-pria yang memiliki sisi emosional kuat sekaligus otot dan wajah tampan." (hlm. 215)

Setidaknya, melalui ekspansi budaya populer, dunia jadi tau kebudayaan yang dimiliki Korea. Sektor pariwisata Korea meningkat pesat setelah tayangnya drama legendaris Winter Sonata yang dibintangi Bae Yong-joon, terutama meningkatnya turis asal Jepang. Sekarang, pengenalan budaya dan wisata Korea nggak cuma lewat drama melainkan melalui reality show dan variety show, salah satu yang paling terkenal adalah Running Man, sebuah variety show yang disiarkan stasiun SBS tentang permainan tim.

Meski ditulis oleh orang Korea asli yang nggak pernah bangga jadi orang Korea, tapi semua informasi dalam buku ini ditulis dengan objektif. Hong nggak terlalu menjelek-jelekkan Korea, nggak juga terlalu ngebagus-bagusin Korea. Hong nggak cuma menampilkan narasumber-narasumber yang punya peran dalam perkembangan Korea dari negara miskin menjadi negara masa depan, tapi juga ada sumber-sumber dari jurnal ilmiah dan berita, dan juga Simon dan Martina, Youtubers asal Kanada yang udah tinggal lama di Korea dan video mereka membahas tentang seluk beluk budaya Korea.

Hong menceritakan dengan runut bagaimana perjalanan negeri ginseng ini menjadi raksasa Asia, mulai dari budaya sekolah (pendidikan), sejarah kimchi- makanan aneh yang cuma bisa dimakan sama orang Korea tapi ternyata diimpor juga sama negara-negara Eropa, permusuhan negara Korea dengan Korea Utara dan Jepang, tentang operasi plastik yang sangat populer di tengah masyarakat Korea, sampai pengakuan Hong bahwa artis-artis Korea tidak lain hanyalah boneka negara. Ada banyak sekali informasi di luar bahasan soal K-Pop dan K-Drama.

Ah, bukan cuma itu. Buat K-Popers, terutama pecinta SMTown (artis-artis SM Entertainment semacam TVXQ, Super Junior, dan Girls' Generations) akan mendapatkan informasi yang sangat menarik di balik konser SMTown World Tour di Paris 2012 lalu yang diklaim sebagai konser keliling dunia pertamanya SMTown dan konser terhebat SMTown sepanjang masa. 

Don't judge a book by its cover.
Sampul buku ini boleh jadi kayak sampul novel, judulnya pun kayak judul novel. Tapi, pemahaman itu salah besar. Ini adalah buku pengetahuan budaya yang sangat asyik dibaca. Bahasanya sangat santai dan bukunya nggak terlalu tebal, bisa dibaca sambil santai pas hujan-hujan sembari ngemil Chitato rasa Indomie Goreng yang rasanya biasa aja. Walaupun cuma 283 halaman, tapi isinya padat. Cukuplah untuk menambah pengetahuan kita tentang perkembangan negara Korea.
Bacalah. Lalu sampaikan kepada teman-teman kita betapa ada banyak inspirasi yang ditawarkan dalam buku ini yang bisa kita adaptasi untuk memajukan bangsa. Kemudian kita diskusikan bersama :)

.arifina007.




Comments

Popular posts from this blog

Guruku "tersayang" wkwkwk...

Gadis Rantau #2: Antara Tempat Tidur dan Kamar Mandi