Gadis Rantau #1 - Keputusan Besar



Selama hidup, kita pasti pernah melakukan sebuah keputusan besar. Apa itu? Yakni sebuah keputusan yang tidak mudah ditentukan. Memang, membuat keputusan mau sekecil apapun situasinya pasti tidak mudah. Tapi tentu kita punya satu kesan tersendiri terhadap pengalaman memutuskan sesuatu. Kayak cerita si gadis rantau yang satu ini yang di sedikit masa mudanya mulai memberanikan diri tinggal jauh dari orang tua. 

Ini bukan cerita yang luar biasa emang, bukan cerita yang heroik, bukan cerita yang bisa menyentuh hati orang-orang. Ini cerita biasa aja, tapi sebagai orang yang mengalaminya sendiri kesombongan ini harus sejenak muncul, tentang ceritaku selama di Jatinangor, tempat rantau yang sebentar lagi akan aku tinggalkan.





Kuliah keluar Jogja? Serius??

Jujur, pertanyaan itu sekalipun nggak pernah muncul dalam benakku. Sejak SD sampai SMA aku tinggal sangat bahagia dan sejahtera sama orang tua dan nggak pernah terpikirkan akan hidup mandiri, sendirian, dan jauh dari orang tua. Akupun tidak pernah mempersiapkan diri untuk itu. I just let my life flow as it is.

Kuliah tidak di Jogja, awalnya ini adalah sebuah keinginan. Waktu SMP aku udah punya keinginan untuk kuliah di jurusan komunikasi Universitas Indonesia (UI). Ya, di Depok sana. Dan jujur aja waktu itu aku nggak kepikiran kalau Depok sejauh itu dari Jogja. Cuma keinginan selintas di benak anak SMP. Tapi keinginan itu bukannya hilang ketika aku sudah SMA. Semakin naik kelas aku semakin mantap mau kuliah di UI jurusan komunikasi.

Sejak SMP aku emang bercita-cita pingin jadi wartawan. Dulu waktu SD pernah nonton sinetron paling keren sepanjang hayat RCTI judulnya Dunia Tanpa Koma, yang main Dian Sastro, Tora Sudiro, Fauzi Badillah, sama Slamet Rahadrjo. Ceritanya tentang dunia wartawan gitu. Selain terinspirasi dari situ, aku dari kecil memang suka nulis, jadi pikirku, buat kuliah jurusan yang akan tepat menunjang impianku adalah jurusan komunikasi. Tertanamlah keinginan itu waktu SMP.

Tapi perjalanannya nggak terlalu mulus. As you know, ilmu komunikasi itu masuknya ke ranah ilmu sosial, nggak mungkin masuk ke ranah eksak. Jadi, normalnya harusnya di SMA aku masuk kelas IPS dong, ya? Tapi enggak. Waktu SMA aku masuk kelas IPA dan entah anugerah macam apa yang dilimpahkan kepadaku karena aku masuk di kelas yang terkenal "nomor satu". Beban sebenarnya karena aku paham kalau otak dan hatiku sebenernya udah disetting sebagai otak dan hati sosial, tapi nggak apa-apalah, dijalani aja. Aku pun malah bersyukur masuknya di kelas IPA karena pas kuliah ternyata pengetahuan-pengetahuan alam itu sangat berguna terutama buat bahan liputan, hehehe...

Waktu kelas 11, guru biologiku suatu hari ngasih tips menarik biar keinginan kita didoakan banyak orang sehingga bisa tercapai. Waktu itu pas mata pelajaran biologi di lab, di sela-sela pelajaran, Pak Rudy bilang tulislah jurusan dan universitas yang ingin dituju terus tempelkan di kamar, di tempat mencolok penglihatan orang, jadi ketika orang melihat tempelan keinginan itu dia langsung mendoakan.

Pulang sekolah, aku langsung tulis tuh, keinginanku di kertas gambar ukuran A3, aku tulis besar-besar NEXT DESTINATION --> ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS INDONESIA. Lalu aku langsung tempelkan di dinding meja belajar. Sip. Persiapan semakin matang!

Waktu itu sudah siap kuliah keluar kota?

Bodo amat. Waktu itu aku masih nggak mikir kalau UI ada di luar Jogja, tapi bukan berarti aku mikin UI ada di Jogja. Aku hanya belum kepikiran aja akan tinggal jauh dari orang tua. Aku cuma kepikiran akan kuliah di sana. Itu doang.

Sampai akhirnya tiba waktu ujian SNMPTN. Entahlah, mungkin emang udah ada tanda yang sangat jelas ketika aku menjalani tes SNMPTN di Bandung. Ya, ada sebuah tanda di situ. Tapi aku masih masa bodo.

Ketika daftar ujian SNMPTN, inilah saatnya aku bergulat dengan sebuah keputusan. Pertama, aku punya keinginan kuat kuliah di jurusan komunikasi UI yang notabene adalah ilmu sosial, sementara selama tiga tahun ke belakang yang kupelajari adalah IPA. Jadi waktu itu aku harus memilih tipe ujian, apakah mau ambil ujian IPC atau IPS aja. Awalnya aku pilih IPC, tapi kemudian aku mikir. Aku udah sering ngerjain contoh-contoh soal SNMPTN jurusan IPA dan aku nggak bisa ngerjain banyak. Kalau ngambil IPC otomatis aku harus belajar 2x dan aku tau diri kalau aku nggak sanggup ngelakuinnya. Akhirnya, aku mencoba "bunuh diri", aku pilih ujian IPS. Karena nggak punya materi IPS aku sampai pinjam buku-buku pelajaran dari teman SDku yang pas SMA anak IPS.

Kegalauan ke dua adalah memilih pilihan jurusan ke dua. Nahloh, selama ini aku terlalu pede akan kuliah di UI dan nggak menyiapkan rencana B. Akhirnya malam itu aku galau. Aku nggak mau kuliah di daerah Jawa Tengah dan BIG NO untuk kuliah di UGM, hehe.. Songong ya? Maafin soalnya tidak tertarik juga waktu itu. Akupun cari-cari univ yang ada jurusan komunikasinya (selain UGM tentunya). Ada Undip, Unsoed, UNS, UB, Unair, dan Unpad. Oke, pilihannya banyak banget, tapi aku coba riset lebih dalam lagi. Setelah berkutat cukup lama, akhirnya aku memilih Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran sebagai pilihan ke dua.

Kenapa?

Karena waktu riset aku baru ingat kalau komunikasinya Unpad sudah fakultas dan yang paling penting adalah di situ ada jurusan jurnalistik. Oke, klik!

Hari pengumuman tiba. Entah kenapa sore itu aku nggak begitu antusias, nggak juga pede kalau akan diterima di pilihan pertama. Saking groginya, aku sampai minta ibu aja yang ngecek hasil tes dan hasilnya menunjukkan SELAMAT ANDA DITERIMA DI UNIVERSITAS PADJADJARAN PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI. Unpad, bro! Unpad! Senang atau sedih? Entah, yang jelas aku tetap merasa bersyukur waktu itu karena toh aku tetap berada di keinginan yang sama, jurusan komunikasi, meski universitasnya beda.

Aku agak tenang juga karena kakakku juga kuliah di Bandung, jadi aku merasa mungkin memang sudah jalannya begini. Aku dipermudah untuk perjalanan selanjutnya. Tapi pun waktu itu aku belum merasa akan pergi jauh dalam waktu yang lama. Aku nggak berpikir kalau aku akan tinggal di sana sendirian, tidak ada teman sehingga mau tak mau aku harus cari teman baru nantinya, tidak lagi tidur di kamar di rumah, dan tentunya jauh dari orang tua. Bahkan ketika aku di stasiun, ketika aku dilepas oleh sahabat-sahabat terbaikku: Chintya, Fina, Emil, Inchan, Bayu, Rosa, dan Lana meninggalkan Jogja, ketika kereta sudah berjalan menuju Bandung, aku masih belum menyadari itu. Gila.

Aku baru sadar kalau aku telah membuat sebuah keputusan yang sangat besar sehingga memberatkan hati ketika hari terakhir Penerimaan Mahasiswa Baru, ketika ibu harus kembali ke Bandung untuk pulang ke Jogja. Ya, selama 3 hari pertama PMB aku ditemani ibu tidur di kosan baru, di lingkungan yang sangat amat asing buatku. Entah berapa kali aku nangis setiap ingat rumah dan ingat teman-temanku di Jogja.

Sepi rasanya. Belum punya teman. Jauh dari kakakku pula.
Sepi setiap kembali ke kosan, setelah itu aku menangis. Kesepian itu seolah jadi virus yang menggerogoti tubuhku hingga akhirnya suatu hari aku sakit nggak jelas. Aku diare, aku demam, flu, asma, pusing, maagh. Karena menderita penyakit aneh itu aku sampai dites darah 2x. Semua dokter yang memeriksaku punya versi diagnosa masing-masing. Aku divonis DB dan dokter lainnya memvonis aku sakit campak. Nggak tau mana yang betul yang jelas beberapa hari kemudian aku pulang ke rumah karena udah mendekati lebaran dan aku sudah sembuh waktu itu. Obatnya cuma istirahat di rumah Bude di Bandung.

Aku memutuskan kalau merantau kesini adalah sebuah keputusan besar. Emang, sih nggak heroik kaya cerita orang-orang yang udah merantau mungkin udah dari jaman kecil. Tapi ini pengalaman pertamaku, seumur hidup. Aku memutuskan meninggalkan rumah di usia 18 tahun. Buatku, selama 22 tahun hidupku inilah keputusan besar yang pernah aku buat. Keputusan besar pula milih kuliah di Unpad karena setelah aku jalani masa kuliah ini, kalo ngobrol sama orang, setiap ditanya asalnya dari mana dan kuliah di mana, mereka selalu kaget. "Kok jauh banget kuliahnya? Kok nggak kuliah di sana? Kan ada yang bagus juga?" dan jujur aja sampai sekarang agak sulit menjelaskan soal keputusan kenapa kuliah di sini. Tapi aku nggak menyesal, sama sekali tidak. Justru aku sangat bersyukur bisa tinggal di sini, seenggaknya aku jadi tau ada nama daerah namanya Jatinangor yang selalu membekas di hati anak-anak Unpad. Nanti akan diceritakan di chapter selanjutnya.

Keputusan besar terkadang memang kita sadari belakangan. Awalnya kita anggap sebagai keputusan yang biasa saja, tapi ternyata keputusan itu justru memberikan kesan yang luar biasa dalam hidup. Atas keputusan besarmu ini kamu menjadi pribadi yang lebih kuat dan berani. Kamu juga jadi belajar banyak hal, duniamu lebih luas, pergaulanmu lebih beragam. 
Dan keputusan besar ini menggiring kepada kisah-kisah rantau selanjutnya.


.arifina007.


Comments

Post a Comment

Yuk, share your thought!

Popular posts from this blog

Guruku "tersayang" wkwkwk...

[Apresiasi Buku] Korean Cool: Di Balik Drama Reply 1988 sampai SMTown Paris 2012

Gadis Rantau #2: Antara Tempat Tidur dan Kamar Mandi