Curhat, Salah?




Manusia itu adalah makhluk pencerita. Dari zaman batu sampai zaman sekarang ini, antara satu manusia dengan manusia lainnya pasti melakukan komunikasi dan dalam komunikasi itu ada cerita-cerita. Berdasarkan pengalaman belajar Penulisan Berita Khas di semester 5 ini, ada satu paradigma pendukung yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk pencerita, yaitu Paradigma Naratif. Disini dijelasin dalam asumsi paradigmanya bahwa sejatinya:
"Sifat esensial dari manusia berakar dalam cerita dan bercerita. Cerita mempengaruhi kita, menggerakkan kita, dan membentuk dasar untuk keyakinan dan tindakan kita. Fisher juga meyakini asumsi bahwa naratif bersifat universal, ditemukan dalam semua budaya dan periode waktu." (Fisher)
Seumur hidup ini kita nggak mungkin nggak pernah berbicara sama orang lain. Kita punya teman, kita punya keluarga tempat kita "membuang" semua cerita- kisah-kisah yang terjadi pada diri kita, mulai dari yang sedih sampai yang luar biasa bahagia. Secara psikologis, manusia itu nggak bisa memendam perasaan sendirian. Sekuat-kuatnya seseorang memendam cerita, suatu saat dia pasti akan cerita, entah kepada siapa, yang jelas ia akan menumpahkan semuanya. 

Cara orang untuk membuang ceritanya juga berbeda-beda. Ada yang ceplas-ceplos secara lisan kepada siapapun yang ada di dekatnya (ini versi ibu-ibu yang suka curhat tiba-tiba kalo ketemu orang baru, kenal belum, tau orangnya juga enggak). Ada yang cerita ke orang-orang tertentu yang dipercaya. Yah, kita sebut aja sahabat, teman, ayah, ibu, kakak, adik, atau saudara lainnya yang dekat dengannya. Ada yang cerita di depan khalayak, semacam selingan pas pidato gitu. Biasanya ini terjadi ketika seorang pejabat memberikan kata sambutan untuk sebuah acara. Coba geura, pasti dia cerita pengalaman pribadinya di tengah-tengah pidato. Dan ada pula yang cerita pada dirinya sendiri melalui buku diary, mungkin ini lebih memuaskan hati buat mereka yang memang suka nulis dan cenderung introvert.

Cerita-cerita kayak begini sama anak-anak zaman sekarang mah, suka disebut dengan 'curhat' atau 'curcol'. Sayangnya, di era yang mulai punya ego tinggi ini, curhat dianggap sebagai satu perbuatan cengeng yang nggak cukup baiklah buat dilakukan. Ini pandangan pribadi aja, sih. Terutama, nih buat beberapa kalangan, curhat dianggap sebagai perilaku yang tabu, yaitu buat laki-laki dan buat seorang pemimpin.

Well, pandangan ini memang agak nggak adil. Tapi bener terjadi, kok. Contoh nyatanya adalah presiden kita. Yap, sering kita mendengar curhat-curhat Pak Presiden di media massa dan di berbagai event. Pernah suatu ketika Pak Presiden curhat soal gajinya yang menurutnya 'kecil', pernah curhat soal pernyataan LHI tentang Bunda Putri, pernah pula curhat soal keluarganya yang disadap baru-baru ini, dan sebagainya. Semua curhatan itu lalu direspon kritis oleh sebagian banyak netizen. Kalau disimpulkan, sih mereka beranggapan bahwa "ngapain, sih presiden pake curhat segala? Curhat itu nggak menunjukkan sosok kepemimpinan sama sekali, cemen mameeen, cengeng. Harusnya pemimpin itu kuat ngadepin soal-soal kaya begini doang."

Dan presiden kita itu adalah laki-laki. Lengkaplah ketidakkredibelan perilaku curhatnya: seorang pemimpin dan laki-laki.

Menurut aku, yah mungkin memang curhat adalah tindakan yang kurang tepat dilakukan oleh seorang pemimpin. Nggak baik mengumbar-umbar masalah pribadinya ke rakyat karena rakyat nggak butuh itu, rakyat butuh penyelesaian masalah, bukan tambahan masalah. Tapi sebenarnya tujuan seorang pemimpin curhat adalah supaya rakyatnya tahu tentang kondisinya. Coba kalau presiden dalam keadaan bahaya? Kalau kejadian penyadapan oleh Australia itu lantas semakin lebar masalahnya dan membahayakan presiden dan keluarga, masa iya kita sebagai rakyat yang beriman nggak mau peduli dengan kondisi presiden? Masa iya kita diam saja? 

Lagipula presiden kita selama beberapa tahun ini dipilih secara demokratis dan langsung oleh rakyat (katanya, sih). Nggak bisa selamanya rakyat itu dimanja dan dimengerti sama pemimpinnya. Pemimpin itu juga manusia, perlu dimengerti juga, dong. Kadang kita perlu juga mengetahui kehidupan pribadinya Pak Presiden, pasti pada kepo juga kaan?

Lain halnya pandangan mengenai curhat di buku harian atau di blog atau di microblog atau media lainnya. Dari kecil aku suka curhat di buku harian. Rajin banget. Buku-buku itu kayaknya masih tersimpan rapi di kamarku, kadang ketawa sendiri bacanya. Lalu pernah suatu ketika aku baca sebuah novel, ada adegan nulis diary di sana. Lalu si tokoh yang menulis buku diary ini dibilang cengeng sama temennya soalnya curhatnya sama buku harian.

Tau yang namanya comfort zone? Zona nyaman dimana seseorang merasa nyaman pada sebuah situasi atau di suatu tempat. Orang-orang yang curhat melalui buku harian atau blognya bukan orang cengeng! Mereka adalah orang-orang yang kuat! Buku harian itu semacam dirinya yang lain. Sesosok orang yang paling mengerti dirinya, yang paling bisa memahami dirinya dan paling bisa menentramkan hatinya kalau dia punya cerita sedih. Buku harian adalah tempat curhat di mana dia bisa curhat secara jujur-sejujur-jujurnya, bahkan mungkin dia akan menuliskan ceritanya sambil ketawa-tawa atau sambil menangis. Ya, saking jujurnya.

Tapi buat sebagian orang...
Ya, itu tadi. Cemen. Seolah-olah menulis buku harian itu adalah hal hina dan tidak bermartabat yang dilakukan oleh seseorang.
Biarkanlah. Yang penting hati jadi lebih tenang setelah kita menuliskannya sendiri di buku harian kita sendiri. Buku harian itu adalah sosok yang paling mengerti diri kita, bukan orang lain.

Jadi, apakah curhat itu salah?
Nggak usah dipungkiri, seperti yang sudah disampaikan di atas tadi bahwa semua orang PASTI CURHAT, tapi dengan caranya masing-masing. Curhat itu bukan hal yang hina. Kalau curhat adalah satu hal yang menurunkan harkat martabat seseorang, berarti beribadah juga menurunkan harkat martabat seseorang? 

Sholat, berdoa. Dalam doa pasti kita curhat sama Tuhan. Minta ini dan itu, minta ampunan, minta pertolongan, minta dicarikan jalan keluar, mengucap syukur, dan sebagainya. Apakah itu hal hina?

So, don't judge people who write their stories in a diary and the leader who shares his story to people negatively.

Setiap kisah pasti berharga buat kita sendiri. Jangan terlalu egois dan sombong dengan kisah-kisah sendiri. Kisah orang lain juga perlu kita dapatkan sebagai pembelajaran hidup. Membaca dan mendengarkan kisah orang lain pasti akan menyadarkan kita akan sesuatu, entah itu tentang kebahagiaan, tentang syukur, tentang keteguhan hati, dan sebagainya. Semua kisah itu baik buat kita dan berkisah itu sangat baik buat otak dan jiwa kita. Be wise :)


“Stories make us more alive, more human, more courageous, more loving.” 

― Madeleine L'Engle

.arifina007.




Comments

Popular posts from this blog

Guruku "tersayang" wkwkwk...

[Apresiasi Buku] Korean Cool: Di Balik Drama Reply 1988 sampai SMTown Paris 2012

Gadis Rantau #2: Antara Tempat Tidur dan Kamar Mandi