12 Menit, Sebuah Jawaban Atas Dilema Perjuangan






Pernahkan terbesit dalam benakmu untuk berhenti di tengah jalan dari apa yang sudah dimulai? Ada banyak dilemma yang kamu hadapi dan kamu bingung memilihnya dan akhirnya kamu memilih berhenti.
Dalam perjuangan meraih mimpi, kita selalu dihadapkan dengan hal-hal sulit yang memaksa kita untuk kembali berpikir “Apakah jalan ini benar?”. Kalau sudah begini memang lebih enak untuk berhenti saja, sudahi semuanya dan hidup akan berjalan seperti biasa. Tapi jelas yang jadi pikiran di ujung renungan kita adalah sebuah penyesalan. Kalau berhenti sekarang, kita tidak akan jadi apa-apa nanti. Tapi kalau diteruskan, ah rasanya tidak kuat lagi. Lalu harus gimana?

“suatu hari kamu akan sadar bahwa masalah yang kamu tinggalin nggak pernah bener-bener hilang. Dan, pada akhirnya kamu tetep harus ulang dari nol.”
-12 Menit; 140-

“12 Menit” adalah buku yang mungkin sedikit bisa membantu menjawab pertanyaan tadi. Novel ini mengisahkan tentang perjuangan sebuah tim marching band dari Bontang, Marching Band Bontang Pupuk Kaltim, dalam mengikuti kontes akbar marching band skala nasional yakni Grand Prix Marching Band. Kisah tentang perjuangan mereka bertahan berlatih selama ribuan jam demi sebuah pentas selama 12 menit di Istora Senayan Jakarta sana.

Adalah Rene, seorang lulusan Music Education and Human Learning sebuah universitas di Amerika yang memiliki tanggung jawab untuk memenuhi impian anak-anak Bontang yang tergabung dalam tim marching band ini. Rene yang sudah lama berkecimpung di dunia marching band dan sudah pernah menjadi pelatih tim marching band dari Jakarta mendapatkan tantangan tersendiri dalam mengelola tim Bontang ini. Pasalnya, anak-anak Bontang berbeda dengan anak-anak Jakarta yang terbiasa mendapatkan motivasi-motivasi tentang impian dan kemenangan.

Berdasarkan perbincangannya dengan Yahya, asistennya yang sudah cukup hafal dengan personal anak-anak Bontang, menurut Yahya anak-anak ini memang belum memiliki pengalaman menang. Anak-anak Bontang cenderung tertutup dan susah diiming-imingi gelar juara. Hal ini Rene bincangkan dengan Yahya ketika Rene sudah hampir kehilangan kesempurnaan timnya dan kebingungan memotivasi seratus dua puluh anak untuk bertahan dalam persiapan kompetisi agung ini.

Tak hanya Rene yang dihadapkan pada dilemma, tapi dalam novel ini turut dikisahkan Tara, Elaine, dan Lahang yang masing-masing memiliki dilemma yang kompleks dan terhitung berat bagi mereka yang masih menginjak jenjang SMA. Mereka adalah tiga di antara pemain-pemain berbakat dalam tim Marching Band Bontang Pupuk Kaltim. Tara sangat mahir dalam memainkan drum dengan tempo yang nyaris cacat, Lahang yang merupakan pemain color guards, serta Elaine sang dewi alat musik. Bagi Rene, ketiganya adlaah spesial dan tidak boleh disia-siakan. Namun, permasalahan mereka bertiga membuat Rene semakin kocar-kacir menjaga keseimbangan timnya ini.

Pertama, dilemma yang dihadapi oleh Tara adalah kekurangannya dalam pendengaran. Karena kecelakaan yang ia alami ketika kecil hingga merenggut nyawa ayahnya itu, Tara hampir kehilangan kemampuan pendengarannya. Kemampuannya hanya tinggal sepuluh hingga dua puluh persen, oleh karenanya ia harus menggunakan alat bantu dengar yang selalu menggantung di telinganya. Tak hanya itu, Tara juga tinggal jauh dengan ibunya yang memutuskan untuk melanjutkan sekolah ke Inggris setelah kematian suaminya. Hingga akhirnya kini Tara tinggal bersama opa dan omanya di Bontang. Meski tinggal dengan opa dan oma yang selalu menyayanginya, Tara tetap merasa kesepian karena ketidakhadiran mama dalam hidupnya.
Di sini dikisahkan, Tara dipercaya mengisi posisi yang kosong dalam tim inti marching band Bontang oleh Rene. Kemampuannya memainkan snare drum meski dengan keterbatasannya mampu membuat Rene terkesima. Namun, pelatihan keras yang dilakukan oleh Rene dengan bentakan-bentakan yang selalu diarahkan kepadanya ternyata menciutkan nyalinya untuk terus berlatih. Akhirnya ia memutuskan untuk mundur dan berhenti dari marching band.

Berbeda dengan Elaine yang dihadapkan pada pilihan marching band dengan olimpiade fisika. Ayahnya adalah keturunan Jepang yang sangat disiplin dan workaholic. Ayahnyalah yang paling menentang keterlibatan Elaine dalam tim marching band Bontang. Ayahnya sangat ketat terhadap indeks prestasi Elaine di sekolah. Ia hanya boleh mengikuti latihan bila nilai-nilainya di atas Sembilan puluh lima. Ya, Elaine memang memenuhi janjinya itu, tapi sang ayah tetap tidak mendukung anaknya itu dalam keterlibatannya di tim marching band. Fisika dan marching band adalah dua hal yang ia sukai. Ia pun sangat kegirangan ketika ibu kepala sekolah mengabarinya bahwa ia akan menjadi delegasi sekolahnya dalam olimpiade fisika. Namun, jadwal olimpiade dengan GPMB bentrok. Elaine sangat bingung dengan pilihan ini meski pada akhirnya ia lebih memilih mengikuti GPMB dan membatalkan keikutsertaannya dalam olimpiade fisika. Tapi perjuangannya dalam tim bukan dihentikan olehnya sendiri melainkan sang ayah sampai-sampai Rene yang harus berhadapan langsung dengan ayahnya.

Lahang, seorang anak keturunan Dayak yang tinggal nun jauh dari kota. Hanya hidup berdua dengan ayahnya yang sedang dilanda sakit keras dan hampir meninggal. Dilema yang dihadapinya adalah menjaga sang ayah dan latihan marching band demi terbang ke Jakarta, melihat Monas, dan membuat ayahnya bangga. Sangat susah bagi Lahang untuk bisa bertahan latihan karena beberapa kali ayahnya jatuh dan ia tidak bisa meninggalkan ayahnya begitu saja. Dan detik-detik menjelang turun ke lapangan, saat dirinya sudah menginjakkan kaki di Jakarta, di panggung pertamanya, ia mendapat kabar yang tak sedap dan seakan memaksanya untuk kembali pulang saat itu juga. Rene mencoba mempertahankan Lahang namun Pak Manajer justru menyuruhnya pulang. Lahang pun hampir pulang saat itu.

“Kalau saya pulang sekarang, saya tak punya apa-apa. Saya bukan siapa-siapa,”
-12 Menit; 321-

Perlahan, satu cerita ke mozaik cerita yang lain disampaikan oleh Oka Aurora dalam 12 Menit ini. Masalahnya memang berbeda-beda, tapi bisa disederhanakan oleh Oka menjadi satu masalah besar yang rumit dan tentunya sangat dekat dengan apa yang sering dialami oleh kita ketika kita sedang berusaha meraih impian. Tak hanya menjawab soal dilemma, kisah-kisah dalam novel ini juga membuka pikiran pembaca betapa tak mudahnya mengelola sebuah tim yang besar dan banyak. Harus sabar, harus tegar, dan harus tegas.

Masalah yang dituliskan oleh Oka adalah contoh masalah yang sangat dekat dengan kita. Masalah dilema-dilema itu, masalah pilihan itu, masalah kehilangan kepercayaan diri itu, semuanya tentu pernah kita alami. Kedekatan masalah dengan kita inilah yang memperkuat cerita dalam novel ini. Aku sendiri sebagai pembaca tidak ingin lepas satu bagian pun dari cerita novel ini karena aku pingin segera menyelesaikan permasalahan yang terjadi di dalamnya. Semua dilema itu terjawab di sini.

Ada kalanya kita kalut dan galau ketika memperjuangkan sesuatu, tapi tidak semudah itu pula melepaskan segalanya. Dalam novel ini semua dikisahkan dengan sangat jelas bagaimana kita harus bijak dalam menentukan pilihan, bahwa semua perjuangan yang kita lakukan itu ujungnya bukan untuk siapa-siapa melainkan untuk diri kita sendiri. Oka menunjukkan pada kita betapa pun kerasnya perjuangan kita meraih impian, ada kalanya kita harus merasa tenang dan sendiri.

Tak hanya masalah individu, bagi mereka yang menjadi pemimpin sebuah tim besar maupun kecil juga sepertinya harus belajar pada Rene. Sangat tidak mudah menyelesaikan masalah dalam tim. Masalahnya bermacam-macam. Ada masalah koordinasi kelompok, masalah logistik kelompok, atau bahkan masalah setiap individu dalam kelompok. Semua harus dapat diselesaikan satu per satu dan perlahan dan tentunya sabar.

Oka benar-benar membuat pembaca kalut di sini. Pembaca akan ikut merasa miris membaca kisah Lahang, tersedu mengikuti kesedihan Tara, emosi ketika berhadapan dengan cerita Elaine, dan gemetar ketika tim marching band Bontang menyatukan semangat kemenangan bersama Rene dan pelatih lainnya. Tak heran bila kalian menitikkan air mata ketika membaca satu demi satu ceritanya.

Di Indonesia sebenarnya sudah sangat banyak novel bergenre motivasi semacam ini. Namun, dengan sudut pandang tim marching band, kurasa baru pertama kali ini ada di Indonesia. Dan ini yang jadi salah satu daya tarik novel ini selain cerita intinya. Tim marching band adalah sebuah tim yang massif yang lebih besar daripada tim sepak bola atau bulu tangkis. Bagian-bagian dalam timnya pun lebih banyak dan beragam sehingga pasti masalahnya sangat rumit. Tentu menjadi tantangan bagi penulisnya untuk mengisahkan masalah dalam tim ini satu per satu.

Namun, tim marching band memang belum terlalu populer di kalangan masyarakat Indonesia sehingga bagi pembaca yang kurang mengerti tentang marching band akan kesulitan memahami kosa kata ala marching band dalam novel ini. Glosarium di bagian belakang novel kurang efektif untuk memberi tahu pada pembaca mengenai istilah-istilah asing tersebut. Mungkin lebih enak apabila penjelasan istilah tersebut disisipkan pada bagian cerita atau dibuat catatan kaki karena letaknya lebih terjangkau bagi pembaca untuk mengerti istilah tersebut.

Pada akhirnya, satu pesan yang disampaikan dalam novel ini adalah: ketika kamu menemukan banyak persimpangan di jalan perjuanganmu, ikuti kata hatimu dan jangan berhenti di tengah jalan karena berhenti hanya akan membuatmu memulai lagi dari nol dan itu lebih melelahkan. Selesaikan apa yang sudah kamu mulai! Vincero!!

Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum selain kaum itu sendiri yang mengubahnya.
(QS. Ar-Ra'd; 11)

.arifina007. 

*tulisan ini diikutsertakan dalam lomba menulis resensi novel 12 Menit #12Menit Noura Books*

Comments

Popular posts from this blog

Guruku "tersayang" wkwkwk...

[Apresiasi Buku] Korean Cool: Di Balik Drama Reply 1988 sampai SMTown Paris 2012

Gadis Rantau #2: Antara Tempat Tidur dan Kamar Mandi