Antara Kita, Pancasila, dan Demokrasi



Assalamu'alaikum wr.wb

Jogja masih hujan, niiihh... saat-saat seperti ini adalah saat yang tepat untuk menumpahkan isi pikiran, haha..
Hmm... tulisanku kali ini agak sedikit lebih serius (heuff.. padanan kata yang tidak tepat :p)
Ya, kali ini tentang kita. Tentang Indonesia. Tentang Pancasila. Tentang politik. Tentang ideologi. Tentang Demokrasi.

Seperti yang kita tau, demokrasi itu punya arti sempit: mengemukakan pendapat seluas-luasnya. Sementara dalam arti luas: sebuah kata benda yang menjadi paham suatu individu untuk mampu membuka pikir dan berbicara di depan individu lainnya yang kemudian menjadi bahan diskusi atau pembicaraan kepada prosedur selanjutnya demi mencapai satu tujuan: mendapatkan hak. (Arifina-2011) (susah amat, ye?? XP)

Aku bukan seorang ahli politik
Aku bukan seorang pejabat-sok-tahu
Aku bukan seorang petinggi negara
Aku bukan seorang filsuf
Peranku disini hanya sebagai orang yang berpendidikan yang sedikit pengen membahas soal demokrasi kita. Demokrasi Indonesia.
Ya, kita akhirnya mendapatkan kebebasan sebebas-bebasnya untuk mengemukakan pendapat sejak mulainya masa Reformasi tahun 1998. Sebelumnya, bayangkan aja, pers yang berfungsi untuk menyampaikan segala macam informasi tentang negara ini dibatasi kebebasannya. Lantas bagaimana pers mampu menjalankan tugasnya secara maksimal kalo ada Undang-undang ketat yang berlaku pada masa itu. Sekalinya ada yang mengkritik pedas soal pemerintahan, DOR! Matilah kau! Atau lembaga pers yang menyebarkan informasi tersebut langsung ditutup oleh pemerintah. Wow, hiiiyyy... seyeeemm XC

Dan kehidupan suram itu akhirnya berubah, tepatnya pada tanggal 21 Mei 1998. Kita dapatkan (lagi) kebebasan itu, sampai saat ini.
Sayangnya, disinilah problem dimulai. Makin kesini, kehidupan kita makin ngelantur. Demokrasi memang memberi kita kehidupan yang lebih "cerah" dari sebelumnya, tapi cerah disini dalam arti yang sangat luas.
Aku pun baru menyadari itu waktu lagi gencar-gencarnya ada seorang temen yang update status di FB tentang sekolahnya lalu mendapatkan sanksi yang nggak main-main pula.
Demokrasi nggak selamanya baik! Malahan, di masa sekarang ini tampaknya demokrasi malah membuat kita (sedikit) terpecah belah.

Oke, kita lihat sekeliling kita sekarang. Indonesia negaranya luas (banget) dengan penduduk yang banyak (banget) pula. Maka jangan heran kalo demokrasi pun dimiliki oleh semua warga Indonesia. Dan karena keragaman kita pun, dengan bermodalkan jiwa demokrasi akhirnya kita saling membicarakan diri orang lain bahkan sampai ke pemerintah!
Demokrasi kita semakin nggak terkendali. Demokrasi yang seharusnya dijunjung tinggi dengan tanggung jawab dan bukti-bukti kuat mengenai apa yang kita bicarakan, seolah kini nggak digubris lagi padahal itu udah aturan alam sejak zaman bahula.

Pancasila.
Sebenarnya Pancasila udah menunjukkan kita kepada suatu titik cerah dalam kehidupan. Demokrasi kita sebenarnya (seharusnya) dilandaskan kepada Pancasila. Lima kalimat "maut" yang maknanya udah menyangkut kepada semua aspek kehidupan dan budaya kita. Tapi saking bebasnya kita sekarang, Pancasila sepertinya dilupakan begitu saja. Toh, demokrasi memang membolehkan kita untuk berbicara dan mengemukakan pendapat sebagaimana yang kita pikirkan. Kritik kepada sekolah, pemerintah, negara lain, teman sendiri, keluarga sendiri, menyampaikan informasi peristiwa terkini, dan lain sebagainya.

Bagaimana aku bisa mengatakan kalo demokrasi kita semakin nggak terkendali?
Ada banyak lembaga pers disini, banyak pula milis-milis, forum, blog yang semuanya mengacu kepada demokrasi. Aku nulis ini pun karena merasa punya jiwa demokrasi.
Di forum atau milis itu pasti kita temuin yang namanya membahas kasus, mencerca, mengkritik, membesar-besarkan suatu masalah. Sebagai contoh, kebijakan baru tentang UNAS dan SNMPTN. Ada yang terima ada yang nggak terima ada pula yang milih manut seadanya, yang penting selesai semua urusan. Buat yang nggak terima, pasti ada, deh yang bilang "Ah, nggak mutu! Kebijakannya nggak efektif." atau semacamnya. Toh, akhirnya apa yang diproteskan seolah nggak berefek apa-apa dengan kebijakan baru itu dan tetap dilaksanakan. Lalu saking kesalnya, sampai mengganti nama asli dari penanggungjawab kebijakan itu. Kita bicarakan saja soal PSSI yang nggak kunjung selesai permasalahannya ini. Semua warga meminta pemimpin yang sekarang turun dan segera berganti formasi. Mereka nggak mau ada formasi lama disana dan berharap formasi yang baru, sebaru-barunya. Nggak segan-segan mereka yang nggak sreg sama pimpinan PSSI sekarang ini mengganti namanya jadi macem-macem, bahkan mengganti dengan sebuah kata yang nggak semestinya (aku nggak akan sebutkan)

Keluar dari forum dan milis. Aku yang masih menyandang status pelajar yang dikelilingi oleh pelajar pula di kehidupan sehari-hari, cukup miris dan sakit hati tiap kali ada seorang temen yang mengata-ngatai guru kami. Ya, memang ada salah satu guru yang tidak banyak disukai oleh warga sekolah. Tapi bukan demokrasi namanya kalo nggak sampe mengeluarkan pendapat dimana saja. Nggak sedikit dari mereka yang menambah kata-kata "menohok" di belakang nama guru kami tersebut. Lalu, guru lain yang juga nggak disukai oleh beberapa anak, namanya hampir tercoreng gara-gara banyak di meja kami ditulisi "bantai XXX" lalu ada lagi "singkirkan XXX" dan semacamnya. Mengerikan.

Mengacu kepada pers. Pers yang sudah diberi kebebasan menyampaikan informasi pun sekarang seolah nggak memperhatikan kode etik jurnalistik. Di sana jelas tertulis harus menjaga nama baik setiap warga Indonesia, siapa pun itu dan harus menghargai satu informasi dengan informasi yang lain. Tapi apa? Sekarang informasi yang disampaikan (buatku) terlalu berlebihan sampai membuat panik. Contoh aja waktu masa-masanya Merapi "ngamuk". Jelas di saat-saat seperti itu, terutama warga yang ada di atas, dalam keadaan panik nggak kira-kira. Parahnya, beberapa berita di televisi memberikan informasi yang berlebihan seperti "Zona aman kini menjadi 25 km", "Merapi akan meletus dahsyat", dan berbagai berita menghebohkan lainnya.
Dan nggak kira-kira juga, segala macam berita yang sekiranya nggak perlu diberitakan pun diluncurkan kepada publik, entah untuk alasan apa. Yah, nggak usah muluk-muluk berita nggak penting, deh.. berita yang paling penting pun, kayak soal Century, teror bom, dan segala macam berita besar yang lainnya, ujungnya nggak ada endingnya. Ngambang. Ckck.. padahal seharusnya pers pun menyebarkan informasi sampai selesai.

Lagi, seperti yang udah aku ceritain sebelumnya yang ada seorang teman yang mengkritik sekolahnya sampai dapet sanksi yang nggak main-main, ini juga karena demokrasi. Status itu mengakatakan (maaf) sekolahnya korupsi. Sayangnya, ketahuan sama pihak sekolah dan selesailah sudah.....

Ternyata, demokrasi yang seperti ini mengerikan. Demokrasi yang kita lakukan sekarang ini sudah mengacu kepada FITNAH. Lama-lama kepercayaan kita akan negara ini habis dan booommm! entah hal mengerikan apa yang akan terjadi.
Ya, memang demokrasi itu sangat bermanfaat dan penting buat kita semua, demi hidup kita. Kita punya hak untuk hidup maka kita punya hak untuk berbicara. Tapi bukan demokrasi semacam ini yang dilukiskan dalam Pancasila, teman. Demokrasi kita seharusnya mengacu kepada perdamaian. Demokrasi yang menjaga perasaan dan nama baik semua orang, termasuk negara kita. Demokrasi yang seharusnya menghargai semuanya.
Jadi, demokrasi disini adalah demokrasi yang memberikan saran-saran baik kepada yang bersangkutan untuk mendapatkan sebuah titik cerah buat kehidupan kita, bukan perkataan-perkataan kotor yang terlontar yang malah mengacu kepada sebuah pertikaian bahkan perpecahan.

Mari kita jaga demokratisme kita. Yuk, kita batasi maksud hati untuk menjatuhkan. Kita batasi nafsu kita demi Indonesia yang lebih baik. :)

Dimulai dari diri sendiri...

For Indonesia
For our life
For peace..

Terus, gimana ya kalau kita bandingkan dengan Komunisme?

_upikapik2011_




Comments

  1. a good start to be good journalist soon... :D

    ReplyDelete

Post a Comment

Yuk, share your thought!

Popular posts from this blog

Guruku "tersayang" wkwkwk...

[Apresiasi Buku] Korean Cool: Di Balik Drama Reply 1988 sampai SMTown Paris 2012

Gadis Rantau #2: Antara Tempat Tidur dan Kamar Mandi