Terima Kasih, Artjog 10!

 
Akhir-akhir ini, kepala rasanya penat sekali akibat membaca terlalu banyak konten berbau kebencian dan perpecahan di linimasa media sosial. Sejenak rasanya ingin rehat dari dunia per-mediasosial-an itu, tapi sulit karena otak ini sudah punya pakem "kalau cari hiburan yang hakiki bukalah Facebook atau Instagram". Jadilah aku sebelum tidur suka men-scrolling feed Instagram. Ditambah lagi keseharian yang selalu menghadapkanku pada huruf, kata, narasi, dan naskah. Duh, pingin membuang gawai aja rasanya.

Tapi Artjog menyelamatkanku dari segala pikiran nyentrik itu. Hari ini, 25 Mei 2017 mumpung sedang pulang kampung ke Jogja aku sempatkan berkunjung ke pameran seni paling bergengsi di Jogja yang sudah menginjak perhelatan yang kesepuluh ini. Mengusung tema "Changing Perspective" menurutku Artjog kali ini benar-benar beda dan membikin diri ini jauh lebih bahagia.

Turun dari motor, aroma positif sudah bisa terasa. Tidak jauh dari parkir motor adalah pintu masuk ke gedung dan kita sudah disambut dengan berpasang-pasang mata yang mengapung di atas air. Ya, seperti perhelatan Artjog sebelum-sebelumnya, di halaman muka venue selalu ada suatu karya seni agung yang sudah bisa kita saksikan. Tahun ini, mata-mata mengapung itu yang menyambut kita para pengunjung.

Mata-mata itu adalah seni karya Wedhar Riyadi berjudul "Floating Eyes". Ceritanya sederhana saja dari mata ini, yakni penggambaran kehidupan kita di masa sekarang yang sudah sangat amat terbuka. Disadari atau tidak, setiap gerak-gerik kita ini selalu disaksikan oleh banyak pasang mata. Menarik sekali...

Sebelum masuk ke dalam ruang pameran, jangan lupa membeli tiket terlebih dulu seharga Rp50.000. Di depan loket nanti kita akan dijelaskan dengan singkat oleh Mas-Mbak penjaga loket tentang peraturan di dalam ruang pameran. Mereka sangat ramah, jadi makin semangat untuk melepas penat di Artjog ini.

Artjog yang dilaksanakan di Jogja National Museum ini terdiri dari tiga lantai. Siap-siap bahagia, ya kalau masuk ke sini karena ada banyak kejutan di dalamnya. Jangan takut walaupun seketika kita masuk ke dalam venue di lantai satu kita langsung dihadirkan dengan patung tengkorak yang amat besar. Entah kenapa patung ini menjadi karya yang tampil pertama kali di dalam venue, tapi yang aku tangkap dari maksud peletakan ini adalah kembali pada tema yang diusung Artjog tahun ini: changing perspective. Boleh aja kita dihadapkan pada sesuatu yang "mengerikan", tapi kalau kita coba memikirkan dari perspektif yang berbeda, pasti selanjutnya kita tidak akan merasa ketakutan.

Betul. Masuk lagi ke ruang yang lebih dalam, kita bisa menikmati karya-karya seni lainnya yang menentramkan hati. Di lantai pertama ini juga menjadi ruang bagi karya kolaborasi seniman Angki Purbandono dengan Nicholas Saputra. Konon pada proyek kolaborasinya ini, Nicholas sekaligus mengampanyekan tentang konservasi alam Indonesia dari perspektif seni. Di dalam ruangan itu kita tidak cuma melihat foto-foto karya Angki tapi juga ada pemutaran video tentang kondisi alam Indonesia.

Di seberang ruang karya Nicholas dan Angki Purbandono ada ruang karya Farhan Siki yang menampilkan kita logo-logo brand ternama. Dia melukiskannya pada satu kanvas besar dan beberapa kotak di bawahnya.

Di lantai satu ini venue paling favoritku adalah di ruang "The Seen and Unseen" karya Kamila dan Ifa Isfansyah. Menurut keterangan yang tertulis, karya ini berangkat dari medium film yang berbicara tentang kehidupan holistik dari kehidupan anak-anak ketika melihat malam. Orang tua pada umumnya selalu mengisahkan dongeng-dongeng sebelum anak-anak tidur dan dari dongeng itulah mereka punya perspektif khusus tentang malam, berbeda dengan perspektif malam yang ada dalam pemikiran orang dewasa.

Untuk memasuki ruangan ini kita harus merangkak melewati sebuah pintu yang amat kecil. Kemudian di dalamnya kita akan seperti berada di sebuah negeri dongeng. Dilengkapi dengan suara jangkrik khas malam hari, ruangan ini menyajikan kita sebuah malam yang menyenangkan. Beruntung waktu aku masuk ke dalam sini ada empat orang anak kecil bersaudara yang juga ikut masuk. Berkat mereka aku jadi bisa lebih merasakan perspektif malam dalam benak anak-anak seperti yang disampaikan sang kreator lewat karyanya ini.
Pintu masuk menuju "dunia malam" :D

How do you feel in the night, kids?
Naik ke lantai dua, kita akan lebih banyak disajikan karya-karya kriya. Unik dan menyenangkan! Salah satu spot yang aku suka adalah "Silent Prayers" karya Mulyana Agus. Suka banget sama efek-efek cahayanya yang bergantian menyala dan meredup secara teratur. Bagus kalau dibuat videonya. Spot ini juga yang jadi spot paling ramai di lantai dua.

Selain itu ada juga ruang karya Jim Allen Abel berjudul "Season in the Abyss", menceritakan tentang tragedi hilangnya pesawat Adam Air tahun 2007. Di dalam ruangan yang dibuat gelap ini kita diajak sedikit merasakan berada di dalam pesawat dengan efek-efek suara pilot yang terekam dalam blackbox. Waktu masuk kesini rasanya merinding apalagi ketika melihat foto-foto pesawat karya Jim yang betul-betul membawa emosi yang suram dan menegangkan.

Foto-foto karya Jim Allen sukses bikin merinding!
Daaan, di lantai tiga nggak kalah menarik. Di sini ada lebih banyak seni lukis dan corat-coret lainnya yang punya makna mendalam. Salah satunya adalah di ruang karya Dedy Sufriadi berjudul "Hypertext, Senjakala Berhala dan Antitesis #1 dan #2". Dari jauh kita memang nggak akan tahu "gambar" apa, sih yang terlukis di atas kanvas sebesar 180x400 cm dan 260x280 cm itu, soalnya kayak cuma garis-garis aja. Tapi setelah didekati ternyata "gambar" itu adalah susunan kata-kata, tulisan dengan berbagai ukuran. 

Ketika mendekati lukisan ini aku langsung "WOW" dan bertanya-tanya, berapa lama, ya Mas Dedy ini merampungkan karya uniknya ini? Dan kenapa ia memilih membuat karya seperti ini? Kalau pertanyaan kedua ini kita bisa sedikit tahu jawabannya dari narasi yang tertulis di samping lukisan. Intinya, Mas Dedy ingin menyampaikan bahwa sekarang ini kita nggak bisa melarikan diri dari kata-kata. Setiap hari kita terpapar dengan teks yang kerap menyesatkan pemikiran. Mas Dedy melalui karyanya ini mencoba membangun sebuah otokritik terhadap pemberitaan-pemberitaan di media massa yang terkadang memberitakan sesuatu yang tidak sesuai fakta.

Ah, itu hanya sebagian spot dari 73 karya di Artjog ini. Meski begitu, menurutku semua yang ditampilkan dalam Artjog 10 ini benar-benar seru, asyik, dan releasing stress banget. Selain pameran seni, di Artjog juga ada kafe kecil-kecilan untuk para pengunjung yang inign rehat sejenak. Nah, di dekat gerai kafe itu juga ada panggung dengan atap yang lucu banget. Di situ biasanya akan dilakukan pentas-pentas. Selain itu, di sebelah kanan pintu keluar para pengunjung nggak serta merta bisa langsung pulang karena Artjog masih punya satu venue yang wajib dikunjungi: toko merchandise! Di situ kita bisa beli karya-karya seni yang unik dan berfaedah buat kehidupan sehari-hari. Hm, tentunya harus nebelin kantong dulu kalau mau belanja disitu, hehehe...



Buat yang belum sempat ke Artjog dan menikmati semua programnya, jangan khawatir karena seperti biasa Artjog setiap tahun selalu hadir selama satu bulan penuh. Tahun ini Artjog akan berlangsung pada 19 Mei-19 Juni 2017, buka mulai pukul 10 pagi sampai 10 malam. Jangan cuma menonton pameran seninya biar nggak bosen karena ada program seru di luar ruang pameran. Agendanya bisa dicek di website resmi Artjog.

Jangan minder karena Artjog ini bukan cuma ditujukan bagi mereka para pegiat seni. Menurutku justru Artjog hadir buat orang-orang yang perlu melepas penat. Nggak perlu harus paham dengan seni, terutama karya-karya yang ditampilkan di sini, toh kita sudah dibantu memahami setiap karya dengan narasi yang selalu ada di samping karya. Jadi, kalau nggak paham maksud dari karya tersebut, kita tinggal baca aja narasi singkat itu.

Beberapa spot keren lainnya di Artjog. Jadi ingin berfoto..
Dan memang Artjog sekarang ini menciptakan sebuah perspektif baru, yaitu seni yang nggak cuma bisa dilihat dan dinikmati tapi juga difoto! Ya, sepanjang perjalanan keliling venue, yang aku saksikan adalah para pengunjung yang foto sana-sini dan foto selfie. Tapi aktivitas ini justru nggak aku temukan dari beberapa bule yang berkunjung. Memang beda, ya cara orang kita dan orang luar menikmati seni. Kebanyakan dari mereka justru nggak membawa kamera maupun ponsel ketika melihat-lihat karya. Mereka betul-betul mendalami karya seni yang mereka saksikan.

Meski begitu, bagaimanapun cara orang-orang menikmati seni, yang jelas Artjog sudah membuat banyak orang bahagia, tak terkecuali diriku sendiri. Seperti yang aku bilang tadi di awal, setiap hari aku berkutat dengan huruf dan kepala ini rasanya penaaaat sekali. Kemarin aku sempat berpikir, "Bisa nggak, sih aku melihat sesuatu yang benar-benar bisa dilihat? Bukan dibaca, tapi dilihat?" Dan, well, Artjog menjawabnya. Artjog sudah menyembuhkan luka penat dalam kepalaku ini. Terima kasih, Artjog. Aku senang, aku bahagia.

.arifina007.





Comments

Popular posts from this blog

Guruku "tersayang" wkwkwk...

[Apresiasi Buku] Korean Cool: Di Balik Drama Reply 1988 sampai SMTown Paris 2012

Gadis Rantau #2: Antara Tempat Tidur dan Kamar Mandi