Apresiasi PULANG: Rumahmu adalah Dirimu

Judul : Pulang
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Republika
Tebal Buku : iv + 400 hal; 13.5x20.5 cm
Tahun Terbit : 2015

Berapa kali aku menulis kisah-kisah tentang Pulang di sini? Rasanya sering sekali aku menulis hal itu dan kali ini aku akan menuliskannya lagi, tapi dengan konsep yang berbeda. Tahun 2012 lalu aku menulis kisah pulang dari novel Leila S. Chudori yang berjudul 'Pulang'. Kali ini, aku akan menulis kisah pulang dari novel terbaru Tere Liye yang juga berjudul 'Pulang'.

Tidak, novel ini tidak berbicara hal-hal klise soal pulang, yakni cerita seseorang yang merantau lalu kembali pulang. Lebih kompleks lagi, kali ini Tere Liye menghadirkan kisah yang cukup menegangkan. Kavernya yang berwarna biru dan menampilkan gambar senja di laut ternyata sungguh mengecoh hipotesis kita soal cerita yang akan dikisahkan dalam novel ini. Membaca novel ini kita diajak bertarung, saling pukul, merancang strategi, berdarah-darah, hingga membunuh. Lantas apa hubungannya pertarungan itu dengan pulang?


Novel ini berkisah tentang Bujang, seorang pemuda dari talang yang dibawa oleh sahabat ayahnya yang biasa dipanggil dengan Tauke Besar ke kota. Bujang meninggalkan kampung halamannya di usia yang sangat muda, yakni 15 tahun. Seumur hidupnya tersebut ia sama sekali tak pernah pergi meninggalkan rumahnya di talang. Ia tak pernah melihat dunia luar karena dilarang oleh ayahnya. Dan akhirnya saat itu tiba, ketika Bujang harus dan harus dan harus meninggalkan talang. Mamaknya dengan berat hati melepas putra semata wayangnya tersebut.

Di kota, ia menjadi anak angkat Tauke Besar dalam Keluarga Tong, salah satu keluarga maha besar yang punya pengaruh besar pula terhadap perekonomian negara. Mereka menyebutnya gerakan shadow economy, dunia hitam. Merekalah yang punya kuasa besar dalam perekonomian negara. Apa itu shadow economy? Shadow economy adalah semua aktivitas ekonomi yang berkontribusi terhadap Produk Nasional Bruto maupun Produk Domestik Bruto tetapi aktivitas tersebut sama sekali tidak terdaftar. Tapi mereka bukan mafia maupun yakuza, mereka bermain lebih rapi dan lebih terorganisir, bahkan punya pengaruh lebih besar daripada pemerintahannya sendiri.

Permainan yang dilakukan Keluarga Tong adalah permainan keras yang menggunakan pertarungan. Anggota keluarganya sangat banyak dan besar. Mereka ditanamkan untuk loyal kepada keluarga dan berani bertarung menghadapi segala hal yang dapat membahayakan keluarga. Di sinilah kehidupan Bujang berubah. Di awal kisah pembaca akan ditanamkan persepsi tentang watak Bujang. Dia adalah anak yang tak kenal rasa takut.

Bujang adalah pemuda yang luar biasa. Meski seumur hidupnya selama 15 tahun tersebut ia tidak pernah mengemban ilmu di bangku sekolah, namun ketika dirinya diberikan tes oleh Tauke Besar melalui salah satu profesor kepercayaannya, Frans si Amerika, Bujang mampu menyelesaikan soal-soal logika dalam waktu 30 menit! Sayangnya, ia lebih suka bertarung fisik ketimbang otak. Ia berontak ketika disuruh Tauke Besar yang kini menjadi 'bapak'-nya untuk sekolah. Bujang lebih senang menjadi tukang pukul dan penjagal.

Pembaca setia Tere Liye tentu tahu novelnya yang berbau poltik, Negeri Para Bedebah dan Negeri Di Ujung Tanduk. Sekiranya, Pulang ini juga mengisahkan sedikit intrik di dunia politik dan ekonomi. Bedanya, kali ini kita diajak untuk mengetahui bahwa negara kita ini dikuasai oleh delapan keluarga yang bergerak dalam shadow economy. Pada cerita bagian 2, Tere Liye mengungkapkan hal tersebut melalui kalimat yang dikatakan Bujang kepada calon presiden nomor dua yang berkemeja putih. Kala itu Bujang sudah berusia 35 tahun, ia sudah menjadi salah satu pentolan penting di Keluarga Tong. Kemudian, ketika negara akan menghelat pesta demokrasi untuk memilih presiden, ia menemui calon-calon presiden yang maju kala itu.

Bujang hanya menyampaikan bahwa jika sang calon presiden berkemeja putih lengan panjang itu terpilih, ia hanya meminta agar semuanya berjalan seperti biasa. Tidak saling mengganggu. Mereka setiap perhelatan pemilu akan dilakukan selalu menjumpai para calon presiden untuk menyampaikan hal tersebut. Tidak ada yang diinginkan oleh keluarga penggerak shadow economy tersebut, mereka hanya memberikan peringatan bahwa mereka bukan preman di terminal yang bisa dikalahkan dengan mudah. Mereka punya kekuatan yang sangat besar, sekali mengganggu atau berkhianat maka bersiaplah untuk hancur. Mereka adalah keluarga yang berafiliasi dengan keluarga-keluarga besar di dunia hitam di seluruh dunia.

Menarik memang bahasan soal shadow economy atau akan kita sebut selanjutnya dengan dunia hitam tersebut. Tentu tak banyak orang yang paham dengan dunia hitam itu, atau bahkan tidak menyadari dan tidak tahu. Fakta ini seolah yang ingin diungkapkan oleh Tere Liye. Namun, sayang beribu-ribu sayang, pengetahuan tentang dunia hitam tidak dijelaskan lebih rinci di sini, bagaimana mereka menggerakkan perekonomian sebuah negara atau bagaimana mereka bisa melumpuhkan perekonomian negara. Para pembaca, mungkin lebih baik kita mencari sendiri informasi tentang dunia hitam itu.

Secara keseluruhan, dalam novel ini kita akan terus dibawa ke dalam pertarungan yang berdarah-darah. Seperti menonton film action, begitulah kalau kita membaca buku ini. Aku acungi dua jempol buat Bang Tere yang berhasil dengan sangat rapi menarasikan dan mendeskripsikan bagaimana sebuah pertarungan yang dilakukan Bujang dan kawan-kawannya menghadapi lawan. Tak sungkan-sungkan Tere Liye mendeskripsikan bagaimana Bujang berhasil membunuh musuhnya dari Keluarga Lin hanya dengan sabetan kartu namanya. Kartu itu  tenggelam setengahnya ke dalam leher kepala Keluarga Lin. Meringis? Iya, aku sangat meringis ketika membacanya.

Sebenarnya setiap aksi gerakan pertarungan yang dikisahkan sangat klise, sebagaimana aksi pertarungan yang kita lihat dalam film action. Namun, saya tekankan lagi dengan sangat bangga bahwa Tere Liye bisa saja menggambarkan semua itu dalam kalimat. Aku tahu, tidak mudah menuliskan sebuah kronologi, apalagi kronologi yang melibatkan gerakan-gerakan cepat seperti dalam pertarungan laga. Kita terbiasa melihat hal itu secara visual dan kadang kita tidak mampu menceritakannya kembali bagaimana sebuah pertarungan berlangsung.

Alur yang digunakan Tere Liye di sini adalah alur maju-mundur, hampir mirip dengan alur dalam novelnya yang paling favorit buatku, Rembulan Tenggelam di Wajahmu. Kupikir alur ini cukup tepat digunakan untuk memainkan emosi pembaca. Di kisah ke 16 sampai 18 misalnya, kisah yang menjadi antiklimaks dalam novel ini. Di cerita ke-16 pembaca dibuat tegang dan geram karena ternyata ada pengkhianat di dalam Keluarga Tong yang akan menyerang Bujang, Tauke Besar, dan beberapa lainnya dari dalam rumah. Ketika cerita ke-16 selesai, pembaca mulai semakin tegang, emosi pembaca akan diturunkan pada kisah selanjutnya karena di kisah ke-17 pembaca terlebih dulu dibawa ke masa lalu, kisah Bujang sepuluh tahun yang lalu. Baru pada kisah ke-18 pembaca kembali dibuat tegang dengan pertarungan lanjutan dari kisah ke-16.

Tidak banyak tokoh yang diperkenalkan oleh Bujang dalam kisahnya. Sepanjang ia mengisahkan kehidupannya, yang paling banyak tersebut namanya adalah Tauke Besar, ayah angkatnya di Keluarga Tong, Kopong- pelatih pukul yang sangat menyayangi dan setia pada Bujang, dan Basyir- sahabat dan saudara Bujang di Keluarga Tong. Sementara itu, tokoh lainnya meski tak sebanyak kisahnya dengan tiga tokoh tersebut, namun selalu memiliki peran penting di setiap misi, terutama White, Edwin, Yuki dan Kiko. Sosok Mamak dan Bapak justru sangat sedikit porsi ceritanya di sini.

Sebenarnya, dalam novel ini kita tidak dijelaskan konflik besar apa yang terjadi dalam kisah Bujang. Kita cuma diceritakan tentang daily life si Bujang yang mengurusi masalah dengan para musuh. Pun kita hanya banyak diceritakan tentang masa lalu Bujang dan kisah bapaknya, Samad. Terlalu banyak pelajaran-pelajaran hidup yang disampaikan oleh Bujang maupun guru-guru Bujang sehingga menurutku ini agak membosankan. Memang, hidup ini ada banyak sekali pelajaran, tapi untuk membaca novel kita sebagai pembaca pun ingin dibawa ikut serta ke dalam sebuah konflik, bukan cuma konflik batin si tokoh utama. Kita ingin tahu dinamika pertarungan dan konflik-konflik konkrit yang kadang atau seringkali terjadi dalam keluarga dunia hitam. Namun, di sini kita tidak mendapat banyak. Aku sendiri tidak bisa membaca sebenarnya siapa saja yang menjadi musuh Keluarga Tong. Kita cuma diberi tahu bahwa Keluarga Tong pernah punya polemik dengan keluarga di sebuah kampung arab, mereka saling bertarung dan akhirnya Keluarga Tong menghabisi mereka semua. Tapi itu hanya diceritakan sekilas.

Perdebatan Bujang dengan pihak Keluarga Lin juga hanya sepercik yang diceritakan. Siapa itu Keluarga Lin? Apa hubungannya dengan Keluarga Tong? Kita tidak mendapat jawabannya. Jadi, tokoh antagonis dalam novel ini masih terlalu abu-abu.

Lantas, kenapa judulnya Pulang?
Tentunya inilah pesan utama yang ingin disampaikan oleh Tere Liye. 
Pulang.
Apa, sih makna dari 'pulang' itu? Secara umum, pulang dimaknai sebagai kembalinya seseorang ke tempat asalnya, ke rumah. Tapi, melalui novel Pulang ini, Tere Liye ingin mengungkapkan makna 'pulang' yang lebih dalam lagi. Bagi Tere Liye, bagi Bujang, pulang adalah kembali ke dalam diri sendiri. Ini adalah hasil perenungan Bujang ketika sedang bertarung dengan pengkhianat Keluarga Tong. Ya, hebat sekali Bujang di tengah pertarungan malah sibuk merenung sembari berhadapan dengan musuhnya.

Di titik ketika kau seolah bisa keluar dari tubuh sendiri, berdiri, menatap refleksi dirimu seperti sedang menatap cermin. Kau seperti bisa menyentuhnya, tersenyum takzim, menyaksikan betapa jernihna kehidupan. Saat itu terjadi, kau telah pulang, Bujang. Pulang pada hakikat kehidupan. Pulang, memeluk erat semua kesedihan dan kegembiraan. - Guru Bushi

Pulang adalah ketika kita kembali ke pada diri sendiri. Rumahmu adalah dirimu sendiri. Paman Bujang pada sepotong cerita di novel ini mengatakan "Aku tahu, kau tetap penasaran tentang banyak hal karena kau dibesarkan degan rasionalitas. Tapi, saat kau tiba pada titik itu, maka kau akan mengerti dengan sendirinya. Itu perjalanan yang tidak mudah, Bujang. Kau harus mengalahkan banyak hal. Bukan musuh-musuhmu, tapi diri sendiri, menaklukkan monster yang ada di dirimu."

Memang, ketika amarah menerjang, pikiran kita menjadi jauh lebih rasional, demikian sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dr. Louann Brizendine, seorang ilmuwan dari University of California, penulis buku The Female Brain dan The Male Brain. Namun, pada titik rasional itulah kita menjadi paham tentang diri sendiri. Musuh terbesar kita bukanlah orang lain, melainkan diri kita sendiri. Ketika kita merasa takut akan satu hal, saat itulah kita harus melawan rasa takut yang muncul dalam diri kita itu.

Pulang tak semata-mata kembali ke rumah, bertemu dengan ayah dan ibu. Pulang adalah momen bagi kita untuk memahami diri lebih dalam. Pulang, kembali ke tempat di mana kita berasal, kembali menjadi pribadi yang baik dan untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Sekiranya itu yang ingin disampaikan oleh Tere Liye dalam novel ini.

Satu kutipan lagi yang mungkin menggambarkan kondisi emosi kita setiap hari:
Sejatinya, dalam hidup ini kita tidak pernah berusaha mengalahkan orang lain, dan itu sama sekali tidak perlu.  Kita cukup mengalahkan diri sendiri. Egoisme. Ketidakpedulian. Ambisi. Rasa Takut. Pertanyaan. Keraguan. Sekali kau bisa menang dalam pertempuran itu, maka pertempuran lainnya akan mudah saja. - Tuanku Imam

Mamak Bujang bilang, segelap-gelapnya dunia yang akan kita jalani, sisakan satu tempat bagi sebuah titik putih agar suatu saat itu berguna, untuk memanggil kita pulang.

Pesan lain yang sekiranya kupahami dari kutipan-kutipan tersebut adalah sejahat apapun seseorang, akan ada satu titik di mana ia akan berpikir rasional dan merenungi siapakah dirinya dan ia akan kembali pulang, menjadi dirinya sendiri, kembali pada fitrahnya sebagai manusia, yakni manusia yang bertindak selayaknya manusia, manusia yang baik.

Anyway, aku masih penasaran dengan shadow economy...

Jatinangor, Jumat, 30 Oktober 2015
Kapan Jatinangor hujan, Ya Allah...



Comments

Popular posts from this blog

Guruku "tersayang" wkwkwk...

[Apresiasi Buku] Korean Cool: Di Balik Drama Reply 1988 sampai SMTown Paris 2012

Gadis Rantau #2: Antara Tempat Tidur dan Kamar Mandi