Kisah Naif Pejuang Cinta, Ayah
Judul : Ayah Penulis : Andrea Hirata Penerbit : Bentang Pustaka Tebal :432 Halaman ISBN : 978-602-291-102-9 |
Sabari
jatuh cinta mati kepada Marlena. Ia memperjuangkan rasanya tersebut selama
kurang lebih 11 tahun lamanya demi mendapat balas cinta dari Lena.
Perjuangannya berhasil. Ia dan Lena akhirnya menikah dan punya anak yang
dipanggilnya Zorro lantaran si bocah yang secara fisik jauh lebih baik dari
ayahnya ini sedari bayi tidak ingin melepaskan boneka Zorro pemberian ayahnya.
Sabari
sangat menyayangi Zorro. Sayangnya, Lena hingga Zorro lahir tidak sedikitpun
menaruh cinta pada Sabari hingga akhirnya ia meminta cerai. Lena membawa Zorro
dan tinggallah Sabari sendirian. Sejak saat itu hidup Sabari berantakan dan
tingkahnya sudah hampir mirip orang gila. Beruntung ia punya sahabat karib
bernama Ukun dan Tamat yang sampai Sabari cerai pun masih jadi bujang bangkotan.
Ukun dan Tamat turut berjuang membantu Sabari agar dirinya tak terlanjur gila
dengan mencari Lena dan Zorro.
Setelah
empat tahun semenjak novel "Sebelas Patriot" terbit, akhirnya Andrea
Hirata kembali menyuguhkan karyanya yang berjudul "Ayah". Tidak
seperti karya-karya sebelumnya, dalam novel terbarunya yang baru rilis resmi
pada 31 Mei 2015 silam ini Andrea menghadirkan kisah tentang cinta, keluarga,
dan ketegaran. Novel ini juga cenderung jauh lebih sederhana ketimbang novel
fenomenal Andrea, yakni Tetralogi Laskar
Pelangi yang lebih banyak berkisah soal perjuangan meraih impian dan
persahabatan.
Kesederhanaan
itu bisa kita nilai dari garis besar ceritanya sebagaimana sudah dituliskan
pada bagian awal tulisan ini. Ya, novel Ayah
ini cukup mengisahkan tentang seorang ayah dan seorang anak dengan sedikit
bumbu-bumbu percintaan. Pun, seperti kesederhanaan Andrea pada novel-novel
sebelumnya, di novel ini semua tokoh digambarkan sebagai sosok yang secara
ekonomi kurang mampu, secara akademis terbilang bodoh, dan secara nasib mereka
selalu sial. Hal ini dialami oleh semua tokoh di sini, tidak ada satu tokoh pun
yang hidup mapan dan sebagaimana mestinya.
Judul
novelnya kali ini memang cukup membuat jantung berdebar, Ayah. Siapapun pasti
punya ekspektasi yang tinggi terhadap kisah-kisah dalam novel ini ketika
membaca judulnya. Sebagian besar pasti berpikir bahwa novel ini tentunya akan
berkisah soal hubungan ayah dan anak, tentang pelajaran-pelajaran tentang
kehidupan yang diberikan oleh ayah kepada sang anak, tentang uniknya kasih
sayang seorang ayah terhadap anak, dan segala hal tentang sosok ayah yang
tentunya akan membuat kita terharu.
Sebagaimana
yang sering kita lihat di took buku, belakangan ini ada banyak sekali novel
tentang Ayah yang tentunya mengisahkan tentang kasih sayang ayah kepada
anaknya. Semua buku itu ingin menyampaikan betapa seorang ayah yang selalu
dianggap kurang peduli kepada anak ternyata memiliki cara tersendiri dalam
mendidik dan menyayangi anak-anaknya.
Namun,
setelah habis melahap seluruh isi novel ini, kita harus bersabar karena
ekspektasi itu runtuh seketika. Dalam novel Ayah
ini Andrea justru tidak banyak membicarakan soal hubungan seorang ayah dengan
anak yang ditokohkan oleh Sabari dan Zorro. Kisah hubungan keduanya hanya
dipaparkan sepercik, itupun ketika Zorro masih bayi hingga berusia 2 tahun
karena setelah itu Zorro keburu dibawa lari oleh ibunya, Lena. Sebuah kisah
tentang hubungan dua orang tentu akan lebih seru bila terjadi dialog antara
keduanya, apalagi antara ayah dan anak, seharusnya ada diskusi-diskusi yang
asyik yang dapat dikisahkan. Sayangnyam kala itu Zorro masih sangat kecil,
belum bisa diajak bicara, jadilah yang berperan di sini hanya Sabari yang
berusaha keras menjadi ayah yang baik.
Di
sini Andrea lebih banyak mengisahkan tentang perjuangan cinta Sabari yang
diceritakan cukup konyol dan menghibur. Sabari adalah sosok tokoh yang sangat
polos, naif, pejuang tangguh, pujangga puisi, tapi terbilang bodoh juga. Cintanya
mati pada Marlena yang sudah ditaksirnya sejak SMP, namun hingga perjuangannya
sudah sampai pada restu dari orang tua Lena, Sabari tak juga mendapat balas
cinta dari perempuan keras kepala tersebut meski pada akhirnya mereka menikah.
Setelah menikah, Lena jarang serumah dengan Sabari yang sudah mati-matian
mengumpulkan uang untuk membangun rumah agar mereka bisa hidup bersama. Tatap
muka mereka selama pernikahan pun tak habis jari menghitungnya.
Di
tengah gosip-gosip mengenai Lena yang tak pulang-pulang karena punya pacar lain
di luar kota, ada pula kabar burung bahwa Zorro bukanlah buah hati Sabari dan
Lena. Namun, Sabari tetap tegar menghadapinya dan tak menghiraukannya sama
sekali. Meski tak ada Lena, Sabari berusaha menjadi ayah sekaligus ibu bagi
Zorro.
Membaca
kisah Sabari memperjuangkan cintanya mungkin membuat pembaca sangat kesal. Saya
sendiri ketika membaca sangat geram dengan apa yang dilakukan Sabari yang tak henti-hentinya
berjuang demi Marlena padahal Marlena benci setengah mati kepadanya.
Tentang
Lena, di awal mungkin pembaca diberikan kesan bahwa Lena adalah perempuan yang
tak tahu diri karena meninggalkan suami dan anaknya begitu saja tanpa permisi,
menemui mereka hanya satu dua kali. Pembaca bahkan mungkin menganggap kalau
Lena adalah perempuan brengsek yang tidak menghargai perjuangan cinta seorang
lelaki. Setelah cerai bahkan Lena langsung menikah lagi kemudian cerai lagi.
Hidupnya lantas terlunta-lunta.
Tapi,
Andrea secara hati-hati mencoba meredam emosi pembaca terhadap Lena dan
menunjukkan bahwa Lena bukanlah perempuan yang tidak beradab. Satu kutipan
surat dari Lena untuk sahabatnya Zuraida di Belitonglah yang menjelaskan bahwa
Lena punya alasan mengapa ia memilih jalan hidup yang demikian.
Dapat mengambil keputusan sendiri
adalah kemerdekaan yang indah. Ada perasaan lega yang tak dapat kulukiskan
dengan kata-kata. Kejutan yang menyenangkan terjadi setiap hari. Aku tak tahu
apa lagi yang akan terjadi dalam hidupku, Zurai, cinta adalah sahabat yang
licik, tapi aku siap menerima tantangan baru. (Surat-surat Lena, Hal. 244)
Novel
Ayah ini konon menghabiskan waktu
enam tahun dalam proses penyelesaiannya. Andrea mengaku, novel ini cukup banyak
riset dan eksperimennya. Tapi menurut saya waktu selama itu tidak sepadan
dengan hasilnya. Tentu pembaca berharap ada nilai lebih yang ditampilkan Andrea
dalam novel ini, tapi saya sendiri hanya dapat mengambil satu inti penting dari
novel ini: ketegaran cinta. Saya tidak mendapatkan kisah mengenai hubungan ayah
dan anak melalui novel ini. Sejak halaman pertama saya membaca sampai halaman
terakhir, tak juga saya temukan kisah-kisah seru antara ayah dan anak di sini.
Hal
lain yang perlu dibahas adalah paparan tentang potret budaya serta latar tempat
yang dikisahkan. Andrea melalui novel ini juga ingin mengangkat budaya-budaya
masyarakat Melayu khususnya Belitong, namun pada kenyataannya paparan budaya
tersebut tidak se-kaya di novel Padang
Bulan dan Cinta Dalam Gelas. Budaya yang sangat ditonjolkan hanya budaya
minum kopi dan sedikit tentang Bahasa Melayu yang digunakan para tokoh untuk
berdialog, selebihnya saya tak begitu menemukan adanya budaya khas orang-orang
Belitong.
Andrea
dalam sebuah berita juga menuturkan bahwa latar tempatnya tidak terpaku di
Belitong dan sekitarnya saja melainkan berkelana hingga ke Sumatera. Memang
benar, ada sepercik kisah di mana Lena dan Zorro yang pada akhirnya hidupnya
luntang-lantung berpindah-pindah tempat menyusuri hampir ke berbagai kota besar
di Sumatera seperti Medan, Palembang, Tanjung Pinang, dan Lampung. Namun, apa
yang dituliskan dalam novel ini hanyalah sebatas menyebut kota tanpa ada
penggambaran unik dan khusus mengenai kota tersebut.
Tak
banyak pula kisah tentang Zorro, anak Sabari satu-satunya yang sangat disayanginya.
Sebagian besar kisah dalam novel ini hanya terpaku pada Sabari sehingga
kesannya memang novel ini hanya mengisahkan tentang Sabari, bukan tentang
Sabari dan Zorro.
Sudut
pandang yang digunakan Andrea kali ini tidak menggunakan tokoh ‘aku’ seperti di
karya sebelumnya. Di sini ia menggunakan tokoh ‘Sabari’ sebagai pelaku dan
pencerita utama. Namun, satu hal yang janggal adalah pada bagian akhir bab
novel ini tiba-tiba saja pencerita bukanlah lagi Sabari melainkan ‘aku’. Tidak jelas
siapakah tokoh ‘aku’ yang tiba-tiba muncul dan berkisah di sini.
Meski
begitu, dalam novel Ayah ini gaya Andrea
tidak berubah. Gaya penulisannya masih sama dengan gaya penulisan pada
karya-karya sebelumnya. Meski judulnya cukup membuat galau dan mungkin memang
hal itu yang diharapkan oleh para pembaca, namun Andrea di sini berusaha
mengemas dengan ceria, ramah, dan menyenangkan. Kisah Sabari dan
kawan-kawannya memang sangat mengenaskan, namun tuturan kata yang dirangkai
Andrea mampu mengecoh otak pembaca sehingga kisah tersebut terkesan lucu dan
kocak.
Bahasa
yang digunakan Andrea dalam novel inipun masih sesederhana bahasa dalam
karyanya yang lain, lugas dan tidak banyak kata-kata kiasan. Bahkan Andrea
berani menggunakan istilah sehari-hari seperti “petantang-petenteng”, “bohai”, “cecunguk”,
dan bahasa harian yang kocak lainnya. Mungkin ini yang bisa jadi poin plus buat
novel Andrea yang sudah lama ditunggu ini. Pembaca tak perlu banyak mencerna
kata karena sekali baca makna yang ingin disampaikan pun bisa dengan mudah
ditangkap.
Melalui
novel ini pula, agaknya Andrea ingin menunjukkan bahwa memang ada orang yang
sangat naif terhadap cinta sampai mati-matian berjuang hingga berdarah-darah
demi cinta yang terbalas dan direstui sebagaimana kisah yang dialami Sabari.
Meski begitu, kita memang harus bersabar, tegar, dan berpikir positif terhadap
apa yang terjadi dalam hidup kita ini. Bagaimanapun susahnya hidup ini, pasti
ada hal kecil yang membuat kita bahagia berbunga-bunga seperti yang dialami
Sabari pula. Bersyukur, itulah yang disampaikan Andrea melalui novel ini.
Selain
itu, Andrea juga menyampaikan bahwa cinta memang tak selalu harus terbalaskan.
Orang yang kita cintai bisa jadi selalu membenci diri kita. Namun, kita juga
harus percaya bahwa aka nada waktunya orang tersebut pada akhirnya menghargai
dan menghormati perjuangan yang sudah kita lakukan demi menunjukkan rasa cinta
kita.
Tak
lupa, sama seperti di karya Andrea lainnya, bumbu persahabatan nan erat selalu
menambah keindahan rangkaian cerita. Sabari yang hidupnya sangat tak keruan
semenjak ditinggal Lena dan Zorro, masih sangat beruntung memiliki sahabat
karib macam Ukun, Tamat, dan Zuraida. Merekalah yang menyelamatkan Sabari dari
kesepian dan nyaris gila. Satu hal lagi yang ditanamkan Andrea melalui novel
ini, yakni rasa sepi memang menjadi penyakit yang sangat berbahaya bagi setiap
individu, buruknya kita bisa menjadi gila.
Kebosanan itu kejam, tapi kesepian
lebih biadab daripada kebosanan. Kesepian adalah salah satu penderitaan manusia
yang paling pedih. (“Besame Mucho”, Hal. 250)
Satu
hal saja yang belum bisa kita dapatkan dalam novel ini, yakni mengenai kisah
cinta seorang ayah kepada anak dan sebaliknya. Sepertinya Andrea harus merevisi
kisah dalam novel Ayah ini.
Akhirnya,
novel yang sudah lama ditunggu ini agaknya tidak sesuai dengan ekspektasi.
Kisah-kisah tentang seorang ayah dan anak tidak terlalu berkisah, lebih banyak
kisah tentang perjuangan cinta. Tapi setidaknya kita masih bisa memetik
pesan-pesan moral melalui novel ini. Novel selanjutnya, Ikal & Lintang, semoga akan menjadi novel pelipur lara dan
lebih baik dari novel Ayah.
Bandung, 2 Juni 2015
Di penghujung malam hari Selasa
.arifina007.
Comments
Post a Comment
Yuk, share your thought!