Terbiasa Sendiri

Ini bukan judul lagu. Ini cuma judul tulisan tentang hari ini.
Dua hari ini aku tugas bareng wartawan Tribun Jogja, Mbak Tika namanya. Awalnya siap-siap aja jalan bareng wartawan harian berhubung sebelumnya udah pernah ngintil wartawan harian dari PR di Bandung. Tapi waktu itu fotografer, sih jadi memang nggak ada sesi wawancara, cuma motret-motret aja. Kalau yang dua hari ini peranku adalah sebagai reporter, jadi harus melakukan wawancara ke narasumber.

Kesiapan itu tiba-tiba runtuh ketika udah di lapangan. Kemarin aku liputan ke disdikpora Yogyakarta. Di sana lagi ada diskusi tentang pendidikan inklusi yang ngundang guru dan kepala sekolah inklusi di DIY. Intinya, sih dari diskusi itu akan dibentuk forum sekolah inklusi atau forum guru pendamping khusus (GPK) sebagai wadah dan sarana komunikasi serta penyelesaian masalah. Jadi, pada bulan Desember kemarin Sri Sultan HB X bersama kepala-kepala daerah di DIY mendeklarasikan DIY sebagai Kota Inklusi, yakni kota yang mendukung pendidikan inklusi.

Selama kuliah aku memang sering meliput yang basic-nya event atau diskusi. Bahkan nggak pernah ngeliput yang peristiwa langsung itu, jadi untuk liputan hari kemarin kupikir akan lancar-lancar aja. Nyatanya di sana aku blank. Aku catat aja apa yang diomongin sama bapak-bapak pembicara di depan. Bingung mau ngambil angle apa karena bahasannya memang banyak banget. Sebagaimana kata Pak Rana, kalau ngeliput event atau jumpa pers acara, berita yang ditulis jangan proses acaranya atau mengacu para press release tapi ambil satu angle yang mungkin berkaitan sama peristiwa yang sedang terjadi.

Atas dasar itulah kemarin aku berpusing ria cari angle. Ketika di sela acara aku, Mbak Tika, dan dua wartawan lain yang juga ngeliput mewawancrai salah satu pembicara. Entah namanya Wahyana atau Mulyana, aku kurang jelas. Mas wartawan dari TVRI mulai pertanyaan. Ada banyak pertanyaan yang dia ajuin, lalu mbak yang sebelahku juga mengajukan beberapa pertanyaan, sementara Mbak Tika cuma mengajukan dua pertanyaan kalau nggak salah. Aku yang cuma ngintil dan sedang bingung akhirnya cuma bisa ngelempar satu pertanyaan padahal sebenernya ada banyak pertanyaan lain yang masih nempel dalem kepala.

Wawancara itu cenderung singkat, kayanya cuma 15 menit dan harus gantian sama wartawan yang lain.

Agenda berikutnya di hari yang sama adalah liputan jumpa pers pemutaran film Belakang Hotel: Jogja Asat! di UGM. Aku ingat-ingat lagi kata-katanya Pak Rana. Di sana wartawannya lebih banyak lagi soalnya jumpa pers. Kami di sana dikasih rilis memang, aku pun membacanya, tapi bingung mau nanya apa. Pikiranku sedikit terbuka ketika wartawan lain pada nanya hal-hal yang nggak ada di dalam rilis. Jawaban dari para narasumber aku catat aja walaupun itu bukan pertanyaanku hahaha...

Pada akhirnya aku nggak menanyakan apapun karena bingung dan waktunya memang terbatas. Jumpa pers itu cuma berlangsung selama satu jam, tapi setelah itu ada beberapa wartawan lain yang wawancara sendiri dengan narasumber di luar forum jumpa pers.

Demi menghindari berita yang sama, sebagai anak magang aku harus punya angle berita lain dengan wartawan yang aku ikuti. Jadinya untuk berita yang jumpa pers itu aku coba untuk ambil angle lain, bukan masalah pemutaran filmnya yang aku tulis melainkan pesan yang terkandung dalam film dokumenter "Belakang Hotel" itu dan beberapa kutipan menarik yang diutarakan oleh narasumber. Lumayan. Jadi kebanggaan tersendiri karena aku nggak mengirimkan berita rilis, tapi ada sisi lain yang aku tulis. Ahahaha...

Besoknya, hari Selasa ini kami liputan ke Kampung Cyber di daerah Tamansari. Di sana ada acara penyerahan penghargaan Think BIG dari AJE Indonesia yang merupakan salah satu perusahaan minuman, salah satu minuman produknya adalah BIG Cola. Di sana kami juga dikasih rilis. Memang, sih di setial rilis itu selalu ada tulisan "Untuk segera dipublikasikan", rilis yang kemarin juga sama, tapi lagi-lagi aku ingat kata-kata Pak Rana di kelas Penulisan Berita Cetak "Jangan tulis ulang rilisnya! Cari angle lain!". Jadi di sela-sela kesempatan wawancara dengan pendiri Kampung Cyber aku ikut bertanya dan berhasil mengajukan 3 pertanyaan! Hehehe...

Nah, di hari yang ke dua ini wartawannya juga cukup banyak. Jadi cukup kerasalah rebutan bertanya antar wartawan kepada narasumber, seperti yang kita lihat di tivi-tivi itu. Tapi kalau tadi, sih wartawan yang 'ngeroyok' cuman sekitar 6 orang, jadi nggak terlalu berdesakan hehehe...

Pengalaman liputan di masa kuliah emang sedikit berbeda dengan ketika di lapangan beneran. Waktu kuliah, wawancara untuk liputannya terbiasa wawancara eksklusif, jadi wawancara empat atau enam mata doang sama narasumber sementara pengalamanku dua hari ini adalah wawancara keroyokan. Agak kaget, sih dengan kondisi seperti ini karena ya memang belum pernah melakukan wawancara keroyokan seperti ini. Setiap wartawan harus bisa "nyerobot" gilirannya bertanya ke narasumber, jangan sampe cuma satu wartawan yang berhasil "ngeborong" pertanyaan sementara kita sendiri nggak sempat bertanya.

Setidaknya dari dua hari pengalaman liputan ini aku sedikit belajar tentang wawancara keroyokan dan mengasah kemampuan menentukan angle berita. Susah lho, cari angle itu. Makanya kalau meliput event harus tau dulu itu event tentang apa, narasumbernya siapa, sasaran pesertanya siapa, peristiwa atau isu yang sedang ngehit yang berkaitan dengan event itu apa, dan sebagainya. Semua itu demi menentukan angle berita.

Terima kasih banyak Pak Rana yang waktu kelas PBC selalu menegaskan supaya jangan menulis berita rilis, tapi harus kreatif cari angle lain. Your words were very precious for me to do this job training, sir! Thank you so much!

Besok ada cerita apa lagi ya?
Jadi wartawan emang seru, ya :)


.arifina007.

Comments

Popular posts from this blog

Guruku "tersayang" wkwkwk...

[Apresiasi Buku] Korean Cool: Di Balik Drama Reply 1988 sampai SMTown Paris 2012

Gadis Rantau #2: Antara Tempat Tidur dan Kamar Mandi