Memang Harus Turun Tangan, Bung!




Aku rindu menulis, di sini.
Dua bulan, ya nggak ada tulisan? Baiklah. Sekarang aku mau nulis tentang sebuah pelajaran penting buat kita semua PARA PEMUDA INDONESIA YANG SANGAT HEBAT DAN MEMBANGGAKAN. Aku gedein semua hurufnya supaya semua bergetar hatinya, supaya kita sadar bahwa Indonesia (sesungguhnya) memiliki jutaan pemuda yang luar biasa cerdas dan tentu akan memberikan perubahan baik buat Indonesia.

Kita tau, tahun 2014 ini adalah tahun politiknya Indonesia. Kita sudah melalui satu tahap pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang bakal duduk di kursi panas DPRD, DPD, dan DPR RI sana. Akibatnya setiap hari kita dihujani berita soal geliat politik parpol dan para tokoh politik. Kita sering dihujani berita-berita yang cukup menyulut emosi. Contohnya aja banyaknya pandangan sinis kepada Jokowi sejak Bu Mega mengumumkan bahwa Jokowi bakal dimajukan jadi capres dari PDIP. Dari situ muncul banyak tulisan tentang Jokowi dan buat mereka yang sinis mungkin berpikir bahwa Jokowi itu payah, nggak pantas jadi presiden karena sudah meninggalkan Kota Surakarta dan belum menyelesaikan tugasnya di DKI Jakarta.

Di facebook aku sering lihat berita-berita tentang justifikasi partai-partai yang maju dalam pemilu kemarin. Mereka yang nge-share link pemberitaan itu kupikir sudah sangat kecewa dengan kondisi negeri ini. Kemudian muncullah banyak kritik-kritik pedas dari kawan-kawanku itu kepada para capres, parpol, dan semua berita tentang politik itu. Di Pemilu 9 April kemarin nggak sedikit kawan-kawanku yang memilih golput saking engapnya dengan suasana politik Indonesia.

Politik memang pelik. Aku sendiri sebenernya selalu menghindari sama yang namanya politik karena terlalu ruwet dan nggak ada sesuatu yang pasti. Nggak suka kan kalo diphp-in? Tapi aku terperangkap di sini kawan, aku terperangkap di dalam dunia politik.

Cerita sedikit. Kampusku, Fikom, menganut sistem senat sehingga badan naungan para lembaga Fikom berbentuk Senat Mahasiswa (Sema). Senator merupakan ketua-ketua lembaga dari Hima dan UKM yang ada di Fikom. Aku sebagai ketua lembaga pers mahasiswa mau nggak mau harus tergabung di sana.
Suatu hari Senator dipanggil oleh dekanat, singkatnya kami diminta untuk membubarkan senat dan membentuk BEM. Setelah melalui proses diskusi antar senator dan pihak dekanat, akhirnya diputuskanlah demikian (Fikom akan membentuk BEM).

Publikasi dan propaganda disebar ke setiap lembaga dan ke mahasiswa Fikom. Tanggapannya beragam, ada yang sinis, ada yang biasa aja, ada yang pro, dan ada yang diem aja. Yang paling mengecewakan adalah ketika teman-temanku di Jurnalistik berkomentar demikian "Aku, sih No. Ladang korupsi. Buat apa ada BEM?" dan berbagai sikap sinis lainnya. Dari senator sendiri sudah memiliki banyak alasan mengapa Sema akan diubah jadi BEM. Presidium Sema juga udah jelasin secara gamblang melalui tulisan dan udah berusaha disebarkan, tapi sepertinya mereka tutup kuping. Bodo amat! Dan mereka hanya menyampaikan kritik-kritik pedasnya soal pembentukan BEM ini tanpa menyertai alasan, yah cuman 'protes' aja. 

Kita bilang negara kita buruk. Kita bilang kampus kita bobrok. Lalu ketika ada sebuah gerakan perubahan hanya bisa memberikan tanggapan sinis. Mau berubah bagaimana kalau tanggapannya seperti itu?
Kemudian saat gerakan perubahan itu terpaksa harus ditunda atau malah tidak berjalan sama sekali, apakah para penggerak perubahan itu yang salah? Mereka kah yang harus disalahkan atas tertundanya atau gagalnya gerakan perubahan tersebut? 

Ya, kemarin diadakan Kongres Mahasiswa Fikom dalam rangka pembentukan BEM. Namun, mereka yang 'mengutuk' pembentukan BEM ini justru nggak menampakkan wajahnya dalam kongres tersebut, mungkin ada tapi nggak sampai akhir. Jujur aja, kongres kemarin emang nggak berjalan sebagaimana mestinya dan akhirnya ditunda hingga beberapa hari. Setelah ini pasti akan ada pihak yang menyalahkan dan disalahkan.

Dari semua cerita itu, salah satu pelajaran yang kupetik adalah politik memang bukan tempat bermain yang menyenangkan. Dunia politik itu rawan dosa karena di sini pasti semua orang merasa benar dan selalu ingin menyalahkan pihak lain. Sebuah negara, sebuah instansi, sebuah organisasi adalah tempat di mana politik bersemayam. Tujuan dari politik adalah kesejahteraan rakyat atau anggota negara tersebut. Ketika rakyat merasa tidak sejahtera berarti harus ada satu sistem yang diubah. INILAH yang menjadi tugas para anggota, yakni MENGUBAH sistem lama menjadi baru sesuai keinginan mereka.

Tapi apa?
Kita udah lihat tadi bagaimana para pemuda kita memilih untuk golput dan meneruskan kritik terhadap para capres dan parpol yang bakal maju di Pilpres nanti. Kita pun udah menyimak bagaimana para mahasiswa sangat senang mengkritisi tanpa melakukan pertanggungjawaban terhadap kritiknya tersebut.
Ah, mahasiswa kita kelewat sombong dan malas. Inilah penyakit pemuda kita. Cerdas di otak tapi tak pandai di hati.

Orang cerdas adalah tidak mengulangi kesalahan yang sama untuk menciptakan kebahagiaan. Artinya, dia pasti melakukan banyak usaha untuk menggapai kebahagiaan itu, berubah!
Mungkin mudah mengubah nasib kehidupan pribadi kita karena yang mengontrol diri adalah diri kita sendiri. Tapi bagaimana dengan perubahan nasib bangsa atau kampus? Nggak mungkin sendirian, bung! Negara ini nggak mungkin dibangun oleh presiden kita seorang karena negara ini adalah milik kita semua bangsa Indonesia. So, kita semua harus turun tangan, bekerja sama, semangat bareng untuk mengubah negeri ini. Lakukan aksi nyata, jangan ngomong doang!

Kritik boleh asal ada solusi yang ditawarkan atau ada sebuah usaha yang dilakukan. 
Kalau mau berubah ya bergerak!
Indonesia sekarang ini nggak butuh pemuda yang suka ngomong doang tapi butuh pemuda yang bareng-bareng bergerak  untuk mengubah Indonesia jadi lebih baik. Jangan angkuh dan jangan serakah.

Yuk, berubah!

.arifina007.






Comments

Popular posts from this blog

Guruku "tersayang" wkwkwk...

[Apresiasi Buku] Korean Cool: Di Balik Drama Reply 1988 sampai SMTown Paris 2012

Gadis Rantau #2: Antara Tempat Tidur dan Kamar Mandi