Another Story of the Journalist




Assalamu'alaikum wr.wb

Selamat malam, pembaca yang cerdas. Cuaca di Bandung dan Jatinangor hari ini sangat cerah dan malam ini langit Jatinangor pun kembali ketombean. Hari ini adalah hari yang lagi-lagi sangat memberikan inspirasi buat aku dan tak bosan-bosannya setiap aku mengalami hari yang penuh inspirasi aku bilang HARI INI SERU!!

Sebenarnya udah lama aku pengen menulis tentang ini. Tentang kisah-kisah para wartawan, kisah yang seru, penuh tantangan, penuh perjuangan, dan penuh luka. Jauh hari sebelum aku menulis ini sebenernya aku udah menulis topik yang sama cuman nggak selesai jadi sampai sekarang masih tersimpan di draft aja. Nah, malam ini aku akan berbagi kisah tentang cerita wartawan itu.

Baiklah....

Pertama aku mau tanya, di mata pembaca sekalian, sosok wartawan itu seperti apa, sih? Maksudnya di sini adalah perilaku wartawan. Sejauh yang aku amati dari berbagai orang, mereka beranggapan bahwa wartawan itu kerjaannya ngasih berita yang buruk, bikin emosi, bikin sebel, dan semua anggapan negatif lainnya. Wartawan itu kata mereka sok tau, nggak tau aturan, nggak tau malu, dan nggak sopan dan identik dengan bad news is good news  atau bad news is good things atau semacamnyalah.
Di sebuah website lelucon aku juga pernah baca gini "Journalist is printing what everybody doesn't want to be printed." -Wartawan itu mencetak sesuatu yang orang lain nggak mau sesuatu itu dicetak. 

Begitulah. Wartawan dipandang sebagai "orang-orang perusak".

Sembilan bulan sudah aku belajar tentang ilmu komunikasi dan salah satu bidang ilmu yang dipelajari adalah bidang Jurnalistik. As you know, sejak pertama kali kami mengikuti mata kuliah Pengantar Ilmu Jurnalistik (PIJ), kami dipertontonkan sebuah film tentang seorang wartawan yang judulnya Veronica Guerin. Mungkin ada yang sudah pernah mendengar kisahnya.
Veronica adalah seorang wartawan kriminal di Sunday Independent, Irlandia. Kisahnya tentang peliputan dia terhadap peredaran narkoba yang sedang marak terjadi di Irlandia sana. Dia menginvestigasi proses peredaran obat terlarang itu dan narasumbernya nggak cuma para pengguna tapi juga nggak tanggung-tanggung dia masuk ke markas bandarnya. Jelas hal ini adalah tindakan yang sangat berbahaya. Ia kena tembakan satu kali di rumahnya pada kejadian penembakan misterius. Itu baru ancaman pertama, ancaman yang ke dua dia diteror lewat telepon, dan karena masih nekat melakukan investigasi akhirnya Veronica mati tertembak dalam perjalanan pulangnya menuju rumah.

Satu hal: membela kebenaran.

Motivasi Veronica ingin menuntaskan kasus narkoba ini adalah untuk menyelamatkan generasi muda Irlandia dari obat-obatan terlarang tersebut. Bahkan dari pihak medianya Veronica sudah diminta untuk menghentikan investigasi tersebut tapi dia nggak mau karena motivasi yang besar tersebut.

Setelah menonton film itu, pengetahuanku tentang dunia jurnalistik jadi semakin terbuka. Menjadi wartawan itu nggak sekedar menyajikan berita aja buat khalayak tapi juga melakukan penyelamatan kecil terhadap sebuah situasi yang berbahaya di tengah masyarakat. 

Wartawan itu memang kepo dan sifat itu adalah sesuatu yang harus dimiliki oleh seorang wartawan. Namun, banyak orang menafikkan makna dari ke-kepo-an wartawan. Padahal, aku yakin, segala keingintahuan mereka itu nantinya akan dikembalikan kepada kita juga. Kita jadi tahu peristiwa yang sebenarnya terjadi, kita jadi tahu keadaan bahaya macam apa yang sedang kita alami sekarang, kita jadi tahu siapa yang menjadi biang kerok situasi bahaya tersebut, dan segala macam informasi lainnya. Hal ke dua: mengungkap fakta.

Tapi...........

Pasti para pembaca sekalian udah tau masalah ideologi-konglomerasi media di mana sebuah lembaga media massa itu dimiliki oleh seorang pemimpin partai politik sehingga akhirnya lembaga tersebut memiliki misi politik sendiri. Media tersebut menjadi sebuah wadah untuk bersaing dengan partai-partai lainnya, menjadi sebuah ruang untuk mempromosikan produk baru atau event besar perusahaan lain punya si pemilik media.

Out of topic...

Hari ini tadi aku bertemu seorang wartawan beneran yang bekerja di sebuah media yang tergolong besar (maaf nggak bisa aku sebutin nama medianya) dan ia juga seorang aktivis di Aliansi Jurnalis Independen. Dari permbicaraannyalah aku baru tahu bahwa hampir semua berita yang disajikan oleh wartawan itu merupakan settingan dari media tempat ia bekerja. Jadi, ketika sebuah berita itu dianggap bisa merugikan atau merusak citra perusahaan media tersebut, maka berita itu nggak akan dipublikasikan sekalipun berita tersebut isinya adalah mengungkap sebuah kebenaran. Seperti yang aku bilang tadi bahwa kinerja sebuah media sekarang sudah dinahkodai oleh kepentingan politik, maka hal itulah yang terjadi. Para pemilik media memanfaatkan media massa untuk menuntun pikiran khalayak sesuai dengan pemikiran media tersebut.

Ketika seorang wartawan tahu tentang sebuah kebenaran dan kebenaran itu ditolak, maka demi menyambung hidup, si wartawan ini terpaksa menuruti apa yang diperintahkan oleh medianya. Sekalinya ia melawan, maka dia akan di non-job kan. 

Posisi seorang wartawan sebenarnya berada di antara pemilik media dan masyarakat, seperti berikut:

Ini dia. Wartawan itu posisinya nggak enak, galau. Mau memihak yang lemah salah apalagi memihak penguasa yang jelas bersalah, itu dosa. Jadi, kalau nggak mau kena masalah, lebih baik manut aja lah sama pemilik media.

Wartawan yang aku temui tadi itu sebenernya lagi kena kasus yang sebentar lagi akan dibawa ke pengadilan. Dia udah lima bulan dirumahkan, nggak boleh keluar untuk liputan, datang ke kantor saja harus dikawal oleh pihak keamanan karena kehadirannya dianggap berbahaya.
Masalahnya sih, simpel doang. Jadi dia menuntut kesejahteraan wartawan di media tempat dia bekerja dengan membentuk sebuah serikat pekerja. Hmmm...gampangnya begini, deh.. seperti para buruh pabrik yang menuntut kenaikan gaji dengan melakukan demo besar-besaran di hadapan pemilik perusahaan. Satu orang di-PHK, maka seluruh buruh akan beramai-ramai menentang hal tersebut. 

Situasi yang dialami oleh wartawan ini hampir sama seperti itu. Dalam ceritanya, masih banyak wartawan yang sudah bekerja di media tersebut selama 5 tahun tapi masih berstatus freelance alias wartawan lepas, ada yang sudah 7 tahun bekerja tapi pendapatannya masih satu koma-satu koma. Dia melakukan ini bukan hanya untuk dirinya melainkan juga untuk kawan-kawan wartawan yang lain. Dia hanya ingin memihak yang lemah. Sayangnya, gebrakannya ini ditolak oleh pihak media dan dia diberhentikan sebagai wartawan tapi statusnya masih sebagai staf di media tersebut. Karena hal tersebut, ia pun mencari dukungan sebanyak-banyaknya atas gerakan kesejahteraan ini. Tapi, ternyata hal tersebut malah menyeretnya semakin dalam. Ia dilaporkan ke pengadilan atas kasus pencemaran nama baik dan katanya ia terancam hukuman penjara selama 5 tahun.

Inilah yang mau aku sampaikan, another story of a journalist. Disaat ia ingin membela sebuah kebenaran, membela kaum yang membutuhkan kesejahteraan ia malah terjerumus ke dalam masalah yang panjang.

"Saya nggak takut dipenjara karena saya merasa saya nggak salah. Satu hal yang saya takutkan sebagai jurnalis cuma satu: dibunuh."

Bagi wartawan ini, wartawan dipenjara itu biasa dan bukan suatu hal yang pantas ditakutkan selama di wartawan ini berbuat benar, membela kebenaran.

Tugas wartawan itu sejatinya adalah mengungkap fakta dan membela kebenaran. Sebenarnya di luar sana ada buanyak sekali wartawan yang berdiri di atas kebenaran tapi harus tumbang karena perilaku pemilik medianya. Semuanya dikontrol oleh media bahkan wartawan yang aku temui itu juga mengatakan bahwa isu-isu yang diangkat merupakan isu pilihan pemilik media.
Ya, memang benar. Nggak semua orang mau kebenarannya diungkap, tapi kalau masyarakat memang membutuhkan kebenaran itu gimana? Dalam hal ini pemerintahan ya... di negara yang (katanya) demokratis ini seyogyanya pemerintah bersikap transparan. Kalau nggak ada wartawan, siapa lagi yang bakal mengungkap segala hal yang terjadi di muka bumi ini? Siapa yang bakal menginformasikan keadaan bahaya kepada masyarakat? 

Lalu perilaku wartawan yang dianggap nggak sopan dan nggak tau aturan tadi sebenarnya juga merupakan kegalauan mereka. Ada sebuah blog seorang presenter televisi swasta yang di sana dia menulis pengalaman galaunya waktu liputan bencana gunung Merapi (atau gempa Yogya, ya? Lupa, hehe). Dia menemui seorang ibu yang tengah lemas menatapi jenazah anaknya. Awalnya presenter ini ragu mau mewawancarai ibu itu, tapi dalam tugasnya ia harus melaporkan sesuatu dan sesuatu yang saat itu paling dekat dengannya adalah kehadiran ibu yang sedang dirundung sedih tersebut. Akhirnya, dihampirilah ibu itu dan diwawancarai. Setelah penayangan liputan tersebut ternyata ada banyak respon kritis dari pemirsa. Yang jelas, mereka mengatakan bahwa hal tersebut tidak sepantasnya dilakukan, mewawancarai seseorang yang tengah kehilangan anaknya, itu nggak etis.

Seharusnya pun memang begitu. Seorang wartawan harus tahu kapan ia boleh melakukan wawancara dan kapan tidak boleh. Ketika narasumber tidak ingin diwawancara pun tidak sepantasnya wartawan itu memaksa narasumber untuk bicara. Namun, semua ini karena tuntutan pekerjaan dan tuntutan media sehingga posisi wartawan sebenarnya serba salah kalau boleh aku bilang.

Kalau kata wartawan yang aku temui tadi, harusnya kita punya media independen yang bebas dari bau-bau politik dan yang bebas mengungkap kebenaran, menegakkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Tapi tampaknya belum banyak yang berani melakukan hal itu.

Jadi, pembaca yang terhormat. Okelah, silakan kalau masih mau beranggapan bahwa wartawan itu kerjaannya ngasih berita buruk mulu, bikin emosi, bikin kesel. Tapi aku denger sendiri dari ucapan seorang wartawan beneran yang udah berpengalaman banyak bahkan aktif di AJI bahwa menjadi seorang wartawan itu banyak hambatannya, banyak rintangannya, dan utamanya susah untuk turut menegakkan kebenaran karena hal tersebut dianggap salah oleh medianya. 
Dipenjara itu biasa, dibredel itu bukan sesuatu yang menakutkan. Yang menakutkan adalah ancaman pembunuhan terhadap wartawan seperti yang dialami oleh Veronica Guerin, itu aja.

Mendengar kisah-kisah dari wartawan yang aku temui tadi bukannya membuat aku jadi takut. Aku jadi semakin bersemangat menjadi seorang wartawan karena aku punya sebuah misi dan ada satu motivasi besar kenapa aku bener-bener pengen jadi wartawan.

That was another story of the journalist.

Pilih olehmu menjadi pihak yang kalah tapi benar. Dan janganlah sekali-sekali engkau menjadi pemenang tetapi zalim.
(Pythagoras)


arifina007
  


Comments

Popular posts from this blog

Guruku "tersayang" wkwkwk...

[Apresiasi Buku] Korean Cool: Di Balik Drama Reply 1988 sampai SMTown Paris 2012

Gadis Rantau #2: Antara Tempat Tidur dan Kamar Mandi